Minggu, 21 Agustus 2022

Udin& Aisyah


Namaku adalah Aisyah. Aku dilahirkan di sebuah dusun di daerah perbukitan yang sangat terpencil. Kedua orangtuaku hanyalah petani miskin yang menggantungkan hidupnya dari menggarap sepetak tanah di lahan perbukitan yang kering dan tandus, jauh dari sumber air. Hari demi hari, orangtuaku membajak tanah kering kuning, punggung mereka kering karena terbakar sinar matahari. 

Aku mempunyai seorang adik laki-laki, Sarifudin, usianya tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, karena ingin memiliki kerudung model terbaru yang mana saat itu hampir semua gadis di desaku memakainya, aku mencuri uang dari almari ayahku. Beberapa hari kemudian Ayah menyadari telah kehilangan sejumlah uang. Beliau memaksa aku dan Udin berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya, ia mulai bertanya dengan marah, 

“Siapa yang mencuri uang itu?” 

Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi beliau membentak dengan kesal, 

“Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, Udin mencengkeram tangannya dan berkata, 

“Ayah, aku yang melakukannya!”

Maka tongkat panjang itu pun menghantam punggung Udin bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, 

“Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk Udin dan mengobati punggungnya yang penuh dengan luka, Udin tidak menitikkan air mata setetes pun. Malam itu, aku tak tahan melihat keadaan Udin dan mulai menangis sejadinya. Udin menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, 

“Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”

Aku membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk mengakui perbuatanku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi peristiwa tersebut masih terasa seperti baru kemarin terjadi. Aku tidak akan pernah lupa wajah Udin ketika ia melindungiku. Waktu itu kami masih sangat belia, Udin berusia 8 tahun dan aku 11 tahun.

Pada tahun terakhirnya di SMP, Udin lulus ujian dengan baik dan kemudian berhasil masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, aku diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. 

Malam itu, dengan ditemani ibu, ayah duduk merenung di serambi rumah, menghisap batang demi batang rokok tembakaunya.

Aku mendengarnya berbicara dengan ibu, 

“Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik... sangat baik...” 

Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” 

Saat itu juga, Udin berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, 

“Ayah, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi, aku telah cukup membaca banyak buku.” 

Ayah mengayunkan tangannya, menampar Udin pada wajahnya dan menghardiknya, 

“Mengapa kamu mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika ayah mesti mengemis di jalanan, ayah akan lakukan itu supaya tetap bisa menyekolahkan kalian berdua sampai selesai!”

Aku menghampiri Udin, memeluknya, dan berkata, 

“Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak akan meneruskan pendidikanku ke universitas.

Tak disangka-sangka keesokan harinya, sebelum subuh tiba, Udin meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku, 

“Kak, masuklah ke universitas walaupun tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan akan mengirim uang untuk biaya pendidikanmu di sana.”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis terharu. 

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang Udin hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga di universitas.

Suatu hari, aku sedang belajar di kamar ketika teman sekamarku masuk dan berkata, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”

“Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?” Aku berjalan keluar, dan melihat Udin dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku pun bergegas menghampirinya dan bertanya, 

“Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kalau kamu adalah adikku?” 

Dia tersenyum lalu menjawab, 

“Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu aku adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” 

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Sambil menyapu debu-debu yang menempel di badan Udin, aku berkata, 

“Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apapun juga! Kamu adalah adikku bagaimanapun penampilanmu...”

Dari sakunya, Udin mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia menyematkannya di rambutku, dan berkata, 

“Aku melihat semua gadis di kota memakainya. Jadi aku pikir kamu juga harus memiliki satu.” 

Aku tidak dapat menahan rasa haru lebih lama lagi. Aku menarik Udin ke dalam pelukanku dan menangis.

Suatu ketika aku mengabari ibu bahwa aku akan pulang untuk mengenalkan kekasihku pada keluarga. Ketika tiba di rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih dimana-mana. Setelah kekasihku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. 

“Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”

Ibu menjawab sambil tersenyum, “Itu adalah kerjaan Udin yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu...”

Aku masuk ke dalam kamar Udin untuk menemuinya. Kulihat mukanya agak kurus. Aku menghampirinya, mengobati lukanya dan membalutnya dengan perban.

 “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. 

“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika aku bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan...” 

Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Aku dan suamiku berkali-kali mengundang orangtuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, 

“Sekali meninggalkan dusun, kami tidak akan tahu harus mengerjakan apa.” 

Udin yang juga tidak bersedia meninggalkan dusun, mengatakan, 

“Kak, jagalah mertuamu saja. Aku akan menjaga ibu dan ayah di sini.” 

Suamiku menjadi direktur di pabrik tempatnya bekerja. Kami menginginkan Udin mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi Udin menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sendiri sebagai pekerja reparasi. 

Suatu hari, Udin sedang bekerja memperbaiki instalasi listrik di sebuah rumah, tanpa disadarinya ia menyentuh sebuah kabel yang terkelupas selubungnya, seketika ia mendapat sengatan listrik, Udin pun segera dilarikan ke rumah sakit untuk dirawat. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih membalut kakinya, aku menggerutu, 

“Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, terluka cukup serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Namun Udin dengan teguh membela keputusannya. Ia berkata,

“Pikirkan suamimu Kak, ia baru saja diangkat jadi direktur, dan aku hampir tidak berpendidikan. Jika aku menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan menyebar di lingkungan perusahaan?” 

Aku menanggapinya dengan setengah mengeluh, 

“Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”

“Sudahlah Kak, tidak usah membicarakan masa lalu.” ucap Udin sambil menggenggam erat tanganku.

Waktu pun berlalu.

Di usianya yang ke 30 tahun, Udin menikahi seorang gadis petani dari dusun tetangga. Pada saat resepsi pernikahannya, sang pembawa acara bertanya kepada Udin, 

“Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” 

Udin menjawab spontan, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. 

“Ketika aku masih sekolah di SD yang terletak di dusun yang cukup jauh dari rumah, setiap hari aku dan kakakku berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, aku kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, aku bersumpah, selama aku masih hidup, aku akan menjaga kakakku dan akan selalu baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Bibirku kelu dan dengan susah payah aku berkata, 

“Di dalam hidupku, orang yang paling aku sayangi adalah adikku.” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar