Selasa, 02 Mei 2023

Kenapa Beban Mencari Nafkah Diberikan Kepada Suami?

Mencari nafkah dari yang halal.


Tugas mencari nafkah dibebankan kepada kaum lelaki karena kelebihan dalam penciptaannya yang berupa kekuatan fisik dan akal fikirannya. Oleh itu elaki mampu bekerja keras untuk mencari nafkah, memberi perlindungan dan pertahanan kehidupannya terutama kepada keluarga, agama, bangsa dan agamanya. 

Inilah sebabnya lelaki diangkat menjadi pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena itu, seorang lelaki muslim, lelaki dan suami yang shalih, tidak akan melalaikan tugas ini. Ia wajib bekerja menurut kemampuannya. 

Dalam melaksanakan tugas ini, dia haruslah meluruskan niatnya agar ikhlas untuk mencari keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. Dia tidak akan merasa malu untuk melakukannya bahkan dia gembira dan berbangga terhadap pekerjaannya lebih-lebih lagi perkara yang halal. Lelaki shalih tidak akan lupa untuk mengingat hari akhirat dan menjadikannya sebagai tujuan yang utama.

Dia bekerja di dunia untuk mencari keuntungan di akhirat, bukan mengejar keduniaan semata-mata. Dengan cara ini, usahanya akan sentiasa berhasil di dunia dan akhirat. Seperti kata ulama Salaf: 

“Wahai anak Adam! Juallah duniamu dengan akhirat, maka engkau akan untung semuanya, tetapi jangan engkau jual akhiratmu dengan dunia, maka engkau akan rugi semuanya.”

“Bagi orang orang yang telah mengerjakan kewajiban agamanya dengan baik, kemudian terasa penat dan letih pada malamnya, sehingga tidak dapat mengerjakan amalan amalan sunnah, maka Allah dan RasulNya memberikan jaminan dengan ampunan sepanjang malam yang dilaluinya dengan tidur yang nyenyak.” 

Itulah di antara pahala yang akan diberikan kepada lelaki shalih yang mencari nafkah dengan bersungguh-sungguh. 

Terdapat dua cara orang berusaha mencari nafkah seperti yang dianjurkan oleh Islam. Pertama, hendaklah ia tidak melalaikan tugasnya terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan janganlah ia meninggalkan nilai-nilai yang luhur. Kedua, hendaklah dilakukan dengan cara yang halal, bersih dan tidak membawa kemudaratan kepada orang lain dan tidak pula bertentangan dengan peraturan-peraturan umum. 

“Dan kewajiban ayah (suami) memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 233)

Suami yang shalih adalah yang mampu mandiri dalam ekonomi, ia bisa membahagiakan istri dan anak-anaknya dalam hal duniawi dan ukhrowi. Ia akan memberi istri dan anak-anaknya hanya dengan harta yang halal dari hasil ketekunan dalam bekerja. Sehingga hasil jerih pengorbanan menjadi barakah dan sa’adah bagi diri dan keluarganya. Misalnya: berjualan dengan kejujuran, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, dan lain-lain. 

“Hendaklah kamu (suami) memberi makan istri apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian kepadanya bila engkau berpakaian, dan jangan engkau pukul mukanya, dan jangan engkau jelekkan dia, dan jangan engkau jauhi melainkan di dalam rumah.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, dan yang lainnya).

Di antara cara-cara pencarian harta yang diharamkan oleh Islam ialah: 

  • Riba,
  • Penimbunan barang-barang yang menjadi kebutuhan umum,
  • Perjudian dan perdagangan minuman keras,
  • Berlaku penipuan dalam penimbangan dan penukaran barang,
  • Mencuri,
  • Memakan harta orang lain dengan cara yang bathil seperti yang diterangkan dalam surah An-Nisaa’, ayat 29.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar