Rabu, 16 Maret 2022

Diperbudak Game Online


Cerita ini bermula sekitar setahun yang lalu ketika aku masih libur semester. Karena liburnya cukup panjang, ini menjadi kesempatan untukku untuk pergi memanjakan diri bermain game di warnet tanpa perlu pusing memikirkan kegiatan kampus. 

Suatu hari, datang seorang laki-laki, sebut saja namanya Baim, berusia sekitar 30 tahun mengendarai moge alias motor gede warna merah, mengenakan baju kantoran lengkap dengan dasinya. Ia masuk ke dalam warnet dan mulai bermain PB. Kupikir lucu juga melihat orang yang fisiknya tampak dewasa dan matang, tapi masih suka main game. 

Keesokan harinya aku datang lagi ke warnet untuk bermain. Rupanya Baim itu juga datang lagi, dan main PB lagi. Karena game PB itu banyak cengceremen (istilah bagi mereka penggemar PB tapi tidak punya uang untuk bermain, sehingga hanya menonton mereka yang sedang main PB), maka Baim pun langsung mendapat tempat di hati mereka. 

Beberapa hari kemudian aku perhatikan, ternyata Baim ini senang sekali ngemil. Di meja dan di lantai sekelilingnya banyak sekali terlihat sampah mulai dari botol minuman kaleng, plastik snack, piring, gelas, segala jenis bungkus rokok, dan masih banyak lagi. 

Aku jadi bertanya-tanya, kira-kira berapa pengeluarannya per hari untuk ngemil, sedangkan billing di warnet saja cuma Rp 2.000 /jam, jauh lebih murah dari harga sebungkus rokok.

Seminggu telah berlalu, dan Baim masih tetap setia datang ke warnet tiap hari seperti diriku. Malah ketika aku sampai di warnet, dia sudah lebih dulu duduk di mejanya main PB. Kalau aku main, biasanya hanya 3-5 game atau sekitar 5 jam-an, setelah itu aku stop billing. Sedangkan Baim masih saja main dan ngemilnya juga benar-benar tak bisa direm. Bahkan bisa dibilang semua isi warung dia yang beli. 

Suatu ketika Baim ini datang ke warnet bersama seorang temannya, sebut saja namanya Budi. Dilihat dari penampilannya, sepertinya dia seorang mahasiswa. Dan Budi ini ternyata juga hobi bermain PB dan juga hobi ngemil. Sehingga bisa ditebak sampah pun semakin banyak berceceran, mangkok mie ayam, piring warteg, piring ketoprak, ada saja di meja mereka. Bahkan, bekas voucher PB yang fisik seharga 50 ribu juga terlihat banyak berserakan di sekeliling mereka.

Hingga akhirnya liburan semesterku habis, dan aku pun mulai sibuk kembali dengan kegiatan di kampus. Hari berganti hari, tak terasa sudah sebulan lebih aku tidak main ke warnet. Sore itu sepulang dari kampus, aku mampir dulu ke warnet. Dan ternyata kedua laki-laki itu, Baim dan Budi ternyata masih suka datang ke warnet. Sekilas sempat kulihat mereka berdua mengenakan kaus oblong, celana pendek, dan motor mereka pun masih terpakir di luar. 

Dan aku juga tahu dari anak-anak kalau mereka berdua sudah seminggu lebih menginap di warnet. Kebetulan di warnet ada gudang kecil berukuran 3x3 m2, jadi tidurlah mereka di situ. Nah konyolnya, ketika mereka mengantuk, billing tidak mereka stop dulu, sehingga billing tetap jalan saat mereka tertidur, sayang sekali. Nah, pas mereka tertidur itulah, para cengceremen memainkan billing mereka. 

Sampai saat itu belum ada tanda-tanda kedua orang itu akan kehabisan uang.

Di bulan berikutnya sempat kulihat si mahasiswa alias Budi sudah tidak ke warnet itu lagi. Entah kemana dia, sedangkan si pemilik moge alis Baim kulihat masih duduk di warnet, sepertinya sedang ikut nimbrung menonton orang yang sedang main game. Sempat terlintas di pikiranku, barangkali mereka sudah kehabisan uang, sehingga tidak mampu membayar untuk main game lagi. 

Di bulan berikutnya lagi, kuperhatikan mereka seperti sudah mendapatkan dana lagi, soalnya ketika aku main ke warnet, kedua orang itu sudah asyik main PB lagi. Dan sekali lagi, sampah-sampah voucher PB yang 50rb-an itu berserakan di sekeliling mereka. 

Tapi menurut kabar ternyata si mahasiswa itu hutangnya sangat banyak, aku tahu tentang hal ini dari anak-anak yang suka datang ke warnet itu. Bayangkan saja, dia sudah kehabisan uang tapi memaksakan diri untuk terus main game, padahal untuk sekedar makan mie instan rebus saja kadang minta dibayari dulu ke temannya, dan hutang billingnya  banyak sekali. Tidak heran, soalnya sekali bermain bisa 100 jam sampai 150 jam. 

Hari minggu itu, pagi-pagi aku datang ke warnet. Kulihat Budi si mahasiswa itu sudah rapi sekali dan menenteng sebuah koper besar. Dia bilang mau pulang ke rumah orangtuanya dengan naik pesawat. Tapi walaupun hutang-hutangnya cukup banyak, yang kutahu dia sudah bayar lunas semua billing dan makanannya. 

Dan ternyata dia meminjam uang kepada Baim sebesar 1,7 juta untuk melunasi hutang-hutangnya itu. 

Bulan berikutnya lagi, si PB mania ini masih melanjutkan main game dengan billing yang baru, padahal aku dengar dari anak-anak warnet yang dekat dengan dia, keuangan si Budi ini sudah habis-habisan. 

Dia main game nonstop, sedangkan uang untuk jajan, makan dan minumnya dia dapat entah dari mana, yang jelas keadaannya saat itu saja sudah sangat semrawut persis seperti pengemis. Pakaian tidak pernah ganti, mandi di warnet juga tidak bisa bersih soalnya airnya sering macet dan tidak mau mengalir. Dan aku pernah melihat sendiri kamar mandi warnet yang jorok sekali. 

Hari-hari berikutnya, sudah tidak terlihat lagi sampah voucher maupun sisa-sisa makanan di mejanya, motor juga tidak tahu kemana, pakaiannya pun hanya yang menempel di badan saja. Parahnya, billing jalan terus 24 jam, padahal yang lebih sering memainkannya adalah para cengceremen itu daripada dia sendiri. 

Nah, suatu ketika aku sempatduduk dan ngobrol-ngobrol dengan anak-anak warnet. Menurut cerita dari operator warnet, ternyata hutang Budi bukan cuma itu saja. Ada hutang rokok sebesar 600 ribu lebih, dan hutang billing sebelumnya sebesar 900 ribu lebih belum dilunasi.

Keadaan Baim juga sama saja dengan Budi, sangat aneh dan sama semrawutnya. Badan mereka bertambah kurus, raut mukanya pucat bagaikan kurang gizi, dan sepintas kuperhatikan kulitnya seperti terkena alergi atau mungkin juga karena jarang mandi, di beberapa bagian tubuhnya muncul bentol-bentol merah. Dan tentang masalah hutang, sudah pasti sang pemilik warnet menagihnya terus-menerus. 

Dari situ baru ketahuan kalau dia sedang menunggu transfer dana dari istrinya yang menurut pengakuannya bekerja sebagai TKW di Arab. 

Baim memang sudah benar-benar keterlaluan, istrinya susah payah bekerja menjadi TKW di Arab, tetapi ia sebagai suami yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga malah kecanduan main game di kampung halaman. Dan ternyata Baim hanyalah seorang pengangguran, ia hanya berpura-pura memakai pakaian rapi agar orang-orang percaya bahwa ia adalah pegawai kantoran.

Di awal bulan ini, Baim terpaksa harus menghentikan billingnya dengan durasi hampir mendekati 600 jam atau sekitar 1,2 juta-an rupiah, karena sudah tidak mampu membayar, dan dia sudah di “black list” oleh si pemilik warnet sehingga tidak bisa berhutang lagi. 

Sekarang dia menjadi cengceremen, kegiatannya di warnet hanya menonton orang lain main game sambil menggaruk-garuk tubuhnya yang bentol-bentol merahnya semakin banyak. Dan yang lebih menyedihkan, ketika dulu dia masih punya uang banyak, dia suka mengobral billingnya ke orang lain, dan kini ketika dia sudah tidak punya uang sama sekali, tak ada seorangpun yang mau memberikan dia kesempatan untuk main. 

Aku terkadang heran, bagaimana mungkin ada orang yang sebegitu bodohnya, sampai bisa diperbudak oleh game. Aku bahkan sempat mencoba menghitung akumulasi dia dari awal main di warnet sampai sekarang, berapa banyak waktu yang terbuang sia-sia. Padahal waktu adalah sesuatu yang mahal, sangat tak ternilai. Bayangkan saja, dengan 600 jam kita bisa melakukan apa dan mendapatkan apa.

Semoga kisah ini bisa memberi hikmah kepada kita semua terutama yang suka bermain game, agar lebih bisa mengendalikan diri sehingga tidak diperbudak olehnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar