Selasa, 25 Januari 2022

Ruh, Jiwa, dan Jasad



Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jiwa. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah serta menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabisat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.

Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Ghazaali membagi jiwa menjadi tiga, yaitu: Jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang), dan jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh, dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (Al-Nafs-Al-Nathiqah).

Daya jiwa yang berfikir (Al-Nafs-Al-Nathiqah atau Al-Nafs-Al-Insaniyah) inilah menurut para filsuf dan sufi yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakikat tersebut, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya, dan Penciptaannya.

Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa hewani dan nabati, maka jiwa (nafs) manusia menjadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka ragam sesuai dengan keadaannya.

Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. 

Firman Allah, 


“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53).

Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. 

Hal ini ditegaskan oleh-Nya, 


“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela (dirinya sendiri).” (QS. Al Qiyaamah:2)

Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (Al-Nafs-Al-Muthmainnah). 

Dalam hal ini Allah menegaskan, 



“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku.” (QS. Al Fajr: 27-30)

Jadi jiwa mempunyai tiga macam sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan, dan ketentraman, yaitu jiwa Muthmainnah. Dan jiwa Muthmainnah inilah yang telah dijamin Allah langsung masuk surga.

Jiwa Muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. ruh bersifat ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. 

Allah sampaikan, 



“Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan.” (QS. Asy Syams: 7-8). 

Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.

Ruh berasal dari alam arwah, yang diturunkan kedalam jasad manusia, yang memiliki kemampuan untuk mengetahui, berkehendak dan berkuasa atas tubuh yang didiaminya. Ketika ruh ditiupkan ke dalam badan, badan pun menjadi hidup. Dan ketika meninggalkan badan, maka badan pun menjadi mati. Jadi keberadaan badan manusia itu bergantung pada ruh dan bukan sebaliknya. Ruh sama sekali tidak mengenal mati, sedikit pun ia tidak terpengaruh oleh kematian kecuali sekedar kehilangan wadah kasarnya.

Sewaktu anak Adam tidur, ruh meninggalkan badan untuk sementara. Tapi ketika ruh dicabut karena beberapa penyebab fisik seperti tidak berfungsinya organ tubuh yang vital, atau penyebab lain dari luar, maka matilah ia. Saat itu ruh meninggalkan badan dan pergi ke dunia spiritual yaitu alam arwah, sebagaimana diterangkan dalam Al Quran, 



”Allah yang mengambil ruh manusia pada saat kematian mereka, dan yang belum mati dalam tidurnya. Allah menahan ruh orang yang telah ditetapkan ajal kematiannya, dan melepaskan yang lain (ke badannya) sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS. Az Zumar: 42)

Ayat ini menerangkan bahwa ruh itu hidup, dapat berpindah-pindah, dan menembus ke segenap bagian tubuh manusia. Lebih lanjut diterangkan, bahwa ruh diperintah oleh Allah meninggalkan badan untuk sementara, yaitu selama orang itu tidur. Kemudian diperintahkan-Nya memasuki badan kembali begitu terjaga dari tidurnya. 

Rasulullah SAW bersabda: 

“Sesungguhnya ruhmu dikeluarkan dan kemudian dikembalikan kepadamu, sampai suatu waktu yang diinginkan oleh Allah.”

Dengan sebab bahwa hidup manusia adalah karena kehadiran ruh pada jasadnya, maka ketika datang saat yang sudah ditetapkan ruh itu keluar, tubuh pun menjadi mati. Setelah kematian, tubuh manusia segera rusak, tapi ruh tetap hidup, kekal, dan abadi. Dalam hal ini Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa setelah ruh dicabut saat menemui ajalnya ia kembali ke badan dalam kubur untuk ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir. Seterusnya ruh menetap dalam barzakh untuk mengecap kebahagiaan atau merasakan hukuman siksa sampai hari kebangkitan. 

Dengan begitu ruhlah yang akan mengantar manusia untuk melihat keindahan dan kelapangan alam surgawi. Demikianlah pula sebaliknya, ruhlah yang akan mengantar manusia untuk menerima azab neraka. Selanjutnya ruh yang suci akan kembali kepada Allah di surga, sedangkan yang kotor akan menjalani proses penyucian di neraka. Untuk itu segala kegiatan manusia di dunia hendaknya dijadikan ibadah, karena hanya melalui peribadatan itu ruh dapat menyucikan dirinya setelah melakukan dosa-dosa selama hidup menyatu dengan jasadnya.

Memang, di dalam Al Quran dinyatakan bahwa ruh itu merupakan urusan Allah, dan manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali hanya sedikit. Ia hanyalah sebagian kecil dari rahasia Allah yang telah ditetapkan Allah ke dalam manusia dari alam surgawi (QS. Sad: 72).

Namun meski sedikit, hal itu tidak menghalangi manusia untuk terus melakukan pemikiran dan perenungan tentang eksistensi ruh, dan itu pun tidak luput dari timbulnya macam-macam perbedaan pendapat diantara para ulama dimana mereka telah mengadakan kajian tentang hakikat ruh. Sebab, disamping adanya pengertian ruh dari sudut fisik sebagai daya hidup jasmani, tetapi secara substansial istilah ruh juga mengandung pengertian sebagai wujud spiritaual. Itulah sebabnya, di dalam tasawwuf pun tidak sedikit tokoh-tokoh sufi yang begitu serius membicarakan masalah ruh, termasuk di kalangan sufi indonesia seperti Syaikh Abdus Samad Al Palimbani.

Menurut Abdus Samad Al Palimbani, ruh manusia adalah makhluk suci yang merupakan percikan Nur Allah yang Azali. Ia telah memiliki wujud sebelum tubuhnya diciptakan, dan telah mengenal Tuhan secara langsung sebelum ia dilahirkan ke dunia. Ketika itu manusia masih dalam bentuk nur yang berkeliaran di seputar alam kesucian yang luhur, sebelum kemudian ditentukan ke dalam kegelapan rahim dan menyatu dengan jasad janin.

Al Quran menjelaskan bahwa sebelum ruh diturunkan ke alam jasad, Allah telah berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Ruh-ruh itu pun menjawab, “Benar, Engkau adalah Tuhan kami.” (Q Al ‘araf: 172)

Ayat ini jelas mengartikan, bahwa sebelum ruh diturunkan ke dalam jasad, mereka telah mengenal tentang sesuatu, yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta. Namun demikian, ketika ruh ditiupkan ke dalam jasad manusia, ruh-ruh itu lupa akan pertemuan dengan-Nya yang pernah mereka alami. Ini terjadi karena ruh semakin terpengaruh oleh nafsu yang ada pada jasad materialnya. Maka, hanya dengan intensitas kegiatan ibadat, kiranya ruh akan mengingat kembali pengetahuan dan pengalaman yang pernah dialaminya di sisi Tuhannya, yakni di zaman azali.

Tentang asal-usul keberadaan ruh sebelum ia dipertautkan dengan jasad kasarnya ini, para tokoh sufi pada umumnya menginterpretasikan ayat Al Quran (QS. At Tin: 4-5).

Mereka dengan merujuk pada dua ayat ini berpendapat bahwa semua sebelum di alam rahim sang ibu, ia menjalani fase nurani di zaman azali. Pada masa itu, menurut mereka manusia berada dalam wujud yang seindah-indahnya dan sebaik-baiknya dalam wujud ruh, yang satu sama lain sudah saling mengenal. Ia hidup di alam keghaiban yang hanya bisa dilihat oleh para wali abdal, kekasih-kekasih Allah. 

Dari sanalah kemudian ia diturunkan ke tempat yang serendah-rendahnya, yaitu dimasukkan ke dalam tanah liat dan air mani. Jadi, manusia telah mengalami alam azali nurani sebelum dirinya dijadikan dalam bentuk darah dan daging di dalam rahim. Setelah itu, ia diturunkan ke dunia, dan hijab ghaib pun segera melekat padanya, yaitu berupa keinginan-keinginan dan kecenderungan nafsu keduniaan. 

Akibatnya, sibuklah ia dengan kebutuhan-kebutuhan materinya, hingga ia lupa akan sejarahnya, disebabkan terpenjara oleh dunia dan nafsu-nafsu rendah, hingga derajatnya pun merosot serendah-rendahnya, yakni menjadi jasad kasar di alam dunia yang rendah.

Sesudah jatuh dari keadaan sebaik-baiknya kemudian mejadi keadaan paling rendah, manusia tidak bisa menikmati kembali keadaan di zaman azali yang dilingkungi oleh keindahan surga. Apalagi jika manusia lupa akan kedudukannya lalu menyeret diri dan menyerahkan kepada naluri hewaniahnya, maka ia akan merosot ke lembah kehinaan.

Begitulah manusia yang awalnya merupakan ciptaan Allah yang paling mulia, ternyata lebih banyak merendahkan derajadnya sendiri di bawah makhluk-makhluk lain yang lebih rendah, seperti binatang, pohon-pohon, bebatuan, dan lain-lainya. Perendahan derajat manusia ini timbul lebih banyak diakibatkan oleh pengumbaran nafsunya yang tak terkendali, terutama nafsu kecintaan pada harta, kedudukan, dan kehormatan. 

Akibatnya, manusia yang kodrat sebenarnya adalah supaya mengendalikan materi kebendaan dan mengatasi hawa nafsunya, tetapi pada kenyataanya malah terbalik, yakni manusia yang kini justru diperbudak oleh benda-benda dan bujukan nafsunya sendiri. Dan orang-orang yang tertipu itu bukanlah kaum awam saja, tapi dapat ditemukan hampir di setiap lapisan masyarakat. Mereka dapat dijumpai di kalangan cerdik pandai, bahkan di kalangan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, apalagi di kalangan kaum awam dan rakyat jelata.

Kerinduan ruh akan kehidupan asal di zaman azali, menurut konsep sufisme, segera bisa terobati begitu ruh meninggalkan kehidupan dunia ini menuju alam barzakh. Di alam akhirat nanti ruh-ruh yang bersih akan saling bertemu untuk menumpahkan kerinduannya, karena mereka saling kenal dahulu sebelum ditiupkan ke badan manusia. Ada pun ruh-ruh yang kotor dan buruk ia tidak akan merasa rindu kepada siapa pun, dan ia di hari akhirat itu keadaannya sangat payah penuh penderitaan dan kesengsaraan, dan akan bertambah payah lagi ketika bergabung dengan ruh kotor lainnya.

Dan kerinduan itu akan terobati kala di surga kelak: “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci, dan mereka akan kekal di dalamnya.”

Uraian di atas, apabila dijelaskan dalam kata-kata yang ringkas mungkin akan seperti ini: “Dalam raga ada jiwa, dalam jiwa ada ruh”. 

Raga adalah jasmani sedangkan jiwa berada diantara jasmani dan ruhani sehingga jiwa itu hidup dan selama hidup di dalamnya ada syahwat/nafs, sedangkan ruh bersifat kekal/utuh (sampai Allah yang menentukannya, karena hal itu adalah urusan Allah), jasmani tanpa Jiwa maka mati, tapi ruh tanpa jiwa dia tetap ruh. Maka jiwa dapat terkontaminasi antara ruhani dan jasmani manusia. 

Agama yang benar akan menuntun jiwa agar selalu condong pada ruhani.

Karakterisrik ruh 

Ruh memiliki beberapa karakteristik, antara lain:

  1. Ruh berasal dari Tuhan, dan bukan berasal dari tanah/bumi.
  2. Ruh adalah unik, tak sama dengan akal budi, jasmani dan jiwa manusia. Ruh yang berasal dari Allah itu merupakan sarana pokok untuk munajat kehadirat-Nya.
  3. Ruh tetap hidup sekalipun kita tidur/tak sadar.
  4. Ruh dapat menjadi kotor dengan dosa dan noda, tapi dapat pula dibersihkan dan menjadi suci.
  5. Ruh karena sangat lembut dan halusnya mengambil “wujud” serupa “wadah”-nya, parallel dengan zat cair, gas dan cahaya yang “bentuk”-nya serupa tempat ia berada.
  6. Tasawuf mengikutsertakan ruh kita beribadah kepada Tuhan.
  7. Tasawuf melatih untuk menyebut kalimat Allah tidak saja sampai pada taraf kesadaran lahiriah, tapi juga tembus ke dalam alam rohaniah. Kalimat Allah yang termuat dalam ruh itu pada gilirannya dapat membawa ruh itu sendiri ke alam ketuhanan.
  8. Al-Ruh sebagai dimensi spiritual psikis manusia. 

Dimensi yang dimaksudkan adalah sisi psikis yang memiliki kadar dan nilai tertentu dalam sistem “organisasi” jiwa manusia. Sedangkan dimensi spiritual yang dimaksudkan adalah sisi jiwa yang memiliki sifat-sifat Ilahiyah (ketuhanan) dan memiliki daya untuk menarik dan mendorong dimensi-dimensi lainnya untuk mewujudkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. 

Pemilihan sifat-sifat Tuhan bermakna memiliki potensi-potensi lahir batin. Potensi-potensi itu melekat pada dimensi-dimensi psikis manusia dan memerlukan aktualisasi.

Hiasan bagi ruh.

Ruh (roh atau jiwa) juga menunjukkan kelembutan Ilahi, dan seperti halnya si “hati”, ia juga berada di dalam hati badaniah. Ruh dimasukkan ke dalam tubuh melalui “saringan yang halus”. Pengaruhnya terhadap tubuh ialah seperti lilin di dalam kamar, tanpa meninggalkan tempatnya, cahayanya memancarkan sinar kehidupan bagi seluruh tubuh.

Pada dasarnya ruh merupakan lathifah dan oleh karenanya ia merupakan suatu unsur Ilahi. Sebagai sesuatu yang halus, ia merupakan kelengkapan pengetahuan yang tertinggi dari manusia yang bertanggung jawab terhadap sinar dari penglihatan yang murni, apabila manusia bebas seluruhnya dari kesadaran fenomenal.

Tingkat perkembangan ruh yang sempurna dihiasi dengan sifat-sifat ketuhanan dan berhak menjadi wakil Allah. Salah satu aliran berpendapat bahwa nafs harus dibersihkan agar ruh dapat dihiasi. Beberapa aliran yang lain beranggapan bahwa jika ruh tidak dihias maka nafs tidak dapat dibersihkan.

Pandangan lain adalah bahwa sekalipun seseorang menghabiskan seluruh hidupnya untuk berjuang membersihkan nafs, nafs tersebut masih belum bisa dibersihkan seluruhnya dan dia bahkan mungkin tidak memiliki kesempatan untuk bekerja dengan ruh. Namun jika seseorang bisa menempatkan nafs tetap berada dalam etika thariqat, yang memusatkan perhatian pada pembersihan hati dan menghias ruh, maka kemuliaan ketuhanan akan muncul silih berganti melalui pengaruh daya tarik kemurahan dan kemuliaan Allah. 

Cinta adalah daya tarik ketuhanan, apabila menemukan jalannya ke dalam hati, dia akan membakar akar wujud seseorang, dan menyatukannya dengan wujud mutlak. Hati adalah wilayah persimpangan antara kesatuan dan keragaman. Ketika hati dimurnikan dari segala karat keragaman, matahari cinta akan terbit dan memancarkan sinar kesatuan. Cinta adalah ramuan wujud. Orang harus mematikan diri agar dapat meraih harta karun kehidupan abadi.

Al-ruh merupakan dimensi jiwa manusia yang sifatnya spiritual dan potensi yang berasal dari Tuhan. Dimensi ini menyebabkan manusia memiliki sifat Ilahiyah (sifat ketuhanan) dan mendorong manusia untuk mewujudkan sifat Tuhan itu dalam kehidupannya di dunia. Di sinilah fungsinya sebagai khalifah dapat teraktualisasikan. Dengan ini, maka manusia menjadi makhluk yang semi samawi-ardi, yaitu makhluk yang memiliki unsur-unsur alam dan potensi-potensi ketuhanan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar