Selasa, 04 April 2023

Kado Terakhir



Ketika sedang sendirian, aku sering bertanya dalam hati tentang arti kebahagiaan. Bagiku, kebahagian itu dilihat dari siapa saja yang ada di sekitar kita. Dan menurutku, dalam hidupku seharusnya hanya ada orang-orang yang berarti. Namun sayangnya kebahagiaan yang kumiliki rasanya telah dinodai oleh pikiranku sendiri. 

Dulu aku punya keluarga yang lengkap. Ada ayah, ibu, dan seorang kakak laki-laki. Tetapi kakak laki-lakiku ini sangat berbeda. Dia bagaikan penghalang kebahagiaan dalam hidupku, bukan karena dia pintar ataupun bisa merebut kasih sayang orangtuaku. Melainkan karena dia cacat mental. Namun dari dia, aku belajar akan satu hal, satu hal yang membuatku sadar bahwa selama ini ternyata dia adalah malaikat dalam hidupku yang berwujud manusia.

Kakakku telah menderita cacat mental sejak lahir dalam arti kata bodoh, idiot, dan sering membuatku malu sebagai adik. Tidak ada yang bisa kubanggakan dari dia, umurnya lima tahun lebih tua dariku, tapi dia seperti ketinggalan 10 tahun dariku. Mungkin karena alasan itulah, sehingga ibuku sampai harus rela menunda kelahiranku 5 tahun kemudian, hanya demi merawat kakakku tersebut. Dalam bahasa kedokteran, kakakku itu terkena down syndrom yang membuat kecerdasannya tidak berkembang sempurna. Sedangkan bagiku tidaklah penting apa penyakit yang dia bawa sejak lahir, yang jelas aku selalu merasa malu jika dia berada di dekatku.

Aku selalu berkata pada ibuku, kalau mau menjemputku di sekolah, jangan pernah membawa kak Rory atau aku tak akan pernah pulang bersama mereka. Namun ibuku tetap tidak perduli dan membawa serta kak Rory ke sekolah untuk menjemputku. Sehingga akhirnya setiap kali mereka datang, aku kabur lewat gerbang belakang sekolah dan memilih pulang dengan berjalan kaki.

Sesampainya di rumah, ibuku akan marah padaku dengan kata-kata yang sama,

“Rosie, kamu ini tidak tahu berterima kasih, ibu dan kakakmu sudah bersusah payah menjemputmu, kenapa malah kabur?”

“Siapa bilang Rosie kabur?”

“Dengar Rosie, walau kakakmu seperti itu, tapi dia itu tidak pernah lupa akan muka adiknya yang lari dari dia.” 

Aku terdiam dan hanya membayangkan ketika kak Rory menunjuk-nunjukkan tangannya saat aku berusaha lari dari mereka.

“Lagi pula siapa yang suruh datang dengan kak Rory, Rosie kan malu punya kakak idiot seperti itu.. Rosie sudah bilang jangan menjemput kalau ada kak Rory,” teriakku sambil langsung berlari dan masuk ke dalam kamar.

Aku tak pernah peduli apakah kalimat yang kuucapkan itu bisa membuat kak Rory paham bahwa aku tidak suka ketika ada dia di dekatku. Tapi kata-kataku tadi cukup membuat ibuku marah. Aku tak peduli, pokokya aku tidak mau terus-terusan diledeki teman-teman karena punya kakak idiot seperti dia.

Sebenarnya kak Rory sama sekali tidak jahat dan tidak selalu membuatku repot. Dalam kesehariannya dia bisa makan sendiri, bisa mandi sendiri dan bisa main sendiri tanpa perlu ditemani siapa-siapa. Kalau tiba-tiba dia muncul saat aku sedang asyik menonton TV, aku akan langsung menyuruhnya pergi, tapi dengan mimik wajahnya yang tolol dan mukanya yang culun, dia malah memaksa untuk ikut nonton bersamaku. Karena kesal akupun berteriak,

“Ah, Kak Rory... pergi sana, aku malas sekali nonton bersamamu... sana pergi..”

“Rosie... ke... ke... kenapa benci sama kakak...?” kata dia sepatah-patah.

Aku terdiam. Sebenarnya tidak ada alasan kenapa aku harus membencinya. Aku hanya merasa, hidupku ini tak seperti teman-temanku yang lain. Punya kakak yang normal, bisa diandalkan, dan bisa jadi teman ngobrol yang menyenangkan. Tapi kakakku... rasanya mustahil.

Akhirnya aku mengalah dan pergi dari ruang tamu, membiarkan dia menonton TV sendiri.

Dulu, aku tidak begitu peduli dan tidak pernah sebenci itu kepada kak Rory, sewaktu kecil, aku sering bermain boneka bersamanya, bermain lari-larian atau menonton TV bersama. Aku merasa semua baik-baik saja dengan dia, sampai akhirnya ketika aku mulai menginjak remaja dan pindah ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), semua menjadi berubah. 

Awalnya teman-temanku tak ada yang tahu kalau kak Rory itu idiot, sampai akhirnya seiring berjalannya waktu, banyak yang melihat sendiri seperti apa kakakku, hal ini terjadi ketika ibu menjemputku sambil membawa serta kak Rory. Aku mulai merasa malu. Di belakangku, teman-temanku mulai suka membicarakan tentang aku dan kak Rory. Setiap kali disuruh pak guru untuk maju ke depan kelas dan mengerjakan soal di papan tulis dan aku gagal, pasti ada suara teriakan dari belakang yang membuatku sakit hati.

“Pantas tidak bisa, kakaknya saja idiot, apalagi adiknya.”

Mendengar itu, aku jadi ingin marah dan ingin segera pulang ke rumah, kalau dulu kak Rory langsung mengajakku bermain boneka, kali ini boneka yang dia berikan kepadaku, langsung kulempar.

“Jangan main bersamaku lagi...”

“Ke... kenapa?” tanya kak Rory.

“Aku malu punya kakak idiot sepertimu...”

Dia terdiam. Mungkin berpikir apa salahnya kepadaku. Tapi aku tak peduli. Jadi mulai saat itu setiap kali dia mengajakku bermain, aku akan marah dan menolaknya. Ibuku selalu menyuruhku menemani kak Rory bermain tapi aku malah menangis.

“Ibu, kenapa sih Rosie punya kakak cacat seperti itu, Rosie jadi malu, di sekolah teman-teman sering meledek Rosie... idiot, bego, begini, begitu, Rosie malu...”

Tapi ibu malah menamparku, sedangkan kak Rory yang melihat hal itu langsung menarik tangan ibuku.

“Rosie, berani-beraninya kamu bicara seperti itu kepada ibu dan kakakmu...”

“Salah apa Rosie, apakah salah kalau bicara jujur bahwa Rosie malu... sangat malu punya kakak seperti itu... cacat, bego, idiot...” teriakku sambil lari ke kamar.

Ibuku hanya bisa memeluk kak Rory, kakakku yang walaupun cacat mental, dia pasti mengerti raut wajahku yang emosi dan marah. Ibuku pun menangis dan kak Rory kemudian membelai rambut ibu dengan pelan seperti membelai kucing yang sering dia temukan di jalan.

Ayahku, bekerja di pertambangan sehingga jarang pulang. Ketika pulang pun, dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama kakakku yang cacat, padahal aku juga anaknya, tapi kasih sayang kepadaku cuma sebatas memberi jatah uang saku dan cium di kening, berbeda dengan kak Rory yang diperlakukan bagaikan anak emas. Sebenarnya aku tidak merasa iri dengan hal ini, yang penting aku mendapat uang saku. Sedangkan ibu tidak akan mau memberiku uang saku kalau aku tidak mau berbaikan dengan kak Rory.

Suatu ketika, aku mulai merasakan jatuh cinta. Di sekolah seberang, ada anak yang sangat kusuka namanya Bima. Aku sering melihat dia bermain basket bersama anak-anak di sekolahku. Demi bisa berkenalan dengan Bima, aku bahkan rela menjadi volunteer bagi klub basket sekolah yang tugasnya membawakan minum bagi para pemain basket. Aku sadar kalau aku tidak cantik tapi juga tidak jelek-jelek amat. Satu hal yang aku sangat yakin bahwa cinta yang tulus pasti kelak akan terbalas.

Tanpa kusadari, ternyata Bima sering memperhatikan aku ketika sedang berjalan kaki pulang ke rumah, sedangkan dia biasanya mengendarai sepeda motor. Entah merasa kasihan atau memang suka denganku, akhirnya suatu hari dia menawariku tumpangan. Astaga, hatiku merasa sangat berbunga-bunga. Namun aku sadar, akan jadi masalah kalau dia sampai ke rumahku dan bertemu dengan kak Rory yang cacat mental, sehingga setiap kali diantar pulang, aku minta diturunkan agak jauh dari rumah. Karena kak Rory selalu berlari menyambutku setiap kali aku pulang. Bisa dibayangkan, apa jadinya kalau Bima sampai tahu bahwa aku mempunyai seorang kakak yang cacat mental, dia pasti akan menjauhiku.

Waktu berlalu dan tanpa terasa, aku semakin dekat dengan Bima. Dan suatu ketika dia mengundangku untuk hadir sebagai tamu istemewa di perayaan ulang tahunnya. Aku sungguh merasa sangat tersanjung dan tentunya aku harus mulai memikirkan hadiah yang istemewa untuk Bima. 

Dari teman-teman, aku mendapatkan info bahwa Bima paling suka dengan helm sport, tapi harganya mahal sekali, dan aku tahu tabunganku tak akan cukup untuk membeli helm seperti itu. Aku pun mulai memikirkan hadiah lain yang lebih terjangkau untuk kuberikan pada Bima. Hari itu sambil terpaksa menemani kak Rory main, aku berpikir keras kira-kira dengan uang tabunganku yang jumlahnya tak seberapa itu, aku bisa membeli apa sebagai hadiah untuk Bima nanti. 

Kak Rory yang memperhatikan aku bengong cukup lama lalu bertanya,

“Kok mm... main monopolinya lama, A... a... adik bengong ya...?” Tanya kak Rory yang meskipun idiot tapi jago sekali main monopoli.

“Mau tau aja.” Kataku sambil melanjutkan main monopoli.

Tiba-tiba aku jadi berpikir, mungkinkah kak Rory yang idiot ini punya uang untuk disumbangkan padaku agar bisa beli helm sport?

“Eh, Kak Rory punya uang tidak?” tanyaku, dan dia spontan menyodorkan uang mainan monopoli.

“Uang beneran dong Kak, bukan uang seperti ini, kalau yang begini aku juga punya banyak...”

“U... u... uang, u... un... untuk apa?” tanya kak Rory dengan logatnya yang khas.

“Punya uang tidak...?” tanyaku kesal.

Tiba-tiba dia berlari ke kamarnya dan kembali lagi dengan membawa toples yang penuh berisi uang.

“Ini... u... u... untuk Adik...”

“Wah, banyak sekali, apakah uang ini hasil tabungan Kakak selama ini, banyak sekali...?”

“Ss... ss... semua untuk A... a...  adik... k... kakak kasih...”

“Yakin...?”

“Iya... ta... tapi temani kakak bb... beli permen di ss... supermarket...”

“Ah, hanya itu syaratnya... gampang sekali. Ayo berangkat,” kataku sambil menggandeng dia ke supermarket terdekat.

Akhirnya berkat kak Rory, aku bisa membeli hadiah terindah untuk Bima. Rasanya bahagia sekali, tapi aku tahu, Bima pasti akan mengundang banyak orang pada perayaan ulang tahunnya nanti, jadi aku harus tampil istimewa di hari itu, aku harus dandan yang cantik dan benar-benar terlihat hebat di pesta ulang tahunnya.

Hingga akhirnya, tibalah momen yang sangat kunantikan itu.

“Mau kemana Rosie?” tanya ibu yang sedang menonton TV bersama kak Rory.

“Mau ke ulang tahun teman. “

“Kamu mengambil uang kakakmu, ya?” tanya ibu.

“Tidak kok, dia sendiri yang memberikannya ke Rosie, kalau tidak percaya ibu bisa tanya sendiri ke kak Rory...”

“Ooo... pantas saja uang tabungannya habis, kamu tahu tidak, dia menabung uang itu untuk membeli kado ulang tahun untukmu minggu depan...” kata ibu yang langsung membuatku sadar bahwa minggu depan aku akan berulang tahun.

“Ooo... iya, tapi sama saja kan uangnya juga ke Rosie sekarang.”

“Ulang tahun temanmu lokasinya dimana Rosie...?”

“Di samping sekolah, di Green Caffee. Kak Rory sudah tahu tempatnya, kan sering minta dibelikan es di sana...”

“Ya sudah, tapi jangan sampai larut malam ya...”

Akhirnya aku bebas untuk pergi ke ulang tahun Bima. Sesampainya disana, ternyata aku benar, banyak sekali yang diundang ke ulang tahun Bima, namun tiba-tiba aku teringat kalau kado untuk Bima ketinggalan di rumah.

Aku merasa bodoh sekali karena lupa membawa kado untuk Bima, kalau kembali lagi ke rumah pasti akan ketinggalan acara utama yaitu pemberian kue ulang tahun pertama dari Bima. Aku pun berpikir keras, memeras otak untuk membuat suasana tidak rusak.

Sementara itu dirumah,

Kak Rory yang sedang menonton TV tiba-tiba melihat kado yang tidak sengaja tergeletak di lantai, kado itu ketinggalan saat aku sedang membersihkan sepatuku, dan aku langsung berangkat begitu saja tanpa teringat bahwa kadonya ketinggalan. Kak Rory tahu dan pasti ingat kalau aku akan berangkat ke pesta ulang tahun yang tadi kubahas dengan ibu, sehingga dengan nekad dia membawa kado itu sendirian tanpa sepengetahuan ibuku yang sedang mencuci piring di dapur. 

Walaupun bersusah payah mengingat jalan, akhirnya dia sampai juga di Green Caffee.

Ketika pesta berlangsung dan acara pemberian kue pertama dimulai, tiba-tiba Bima menyebut namaku, aku senang sekali dan menerima kue itu dengan perasaan penuh kemenangan.

“Bima maaf ya, kadonya ketinggalan di rumah, besok aku berikan setelah main basket tidak apa-apa kan...?”

“Ah, tidak masalah, yang paling penting adalah kamu bisa hadir hari ini di acara ulang tahunku, dan ini kue pertama spesial hanya untuk kamu.”

Nah, di saat momen paling penting itu, tiba-tiba kak Rory muncul sambil berteriak.

“A... adik... adik... adik... i... ini kadonya... kadonya...”

Semua yang hadir melihat ke arah kak Rory, begitu pula Bima. Mukaku langsung memerah menahan malu. 

 “Itu kakakmu...” tanya Bima.

“Bukan... dia bukan kakakku...” teriakku sambil berlari keluar meninggalkan pesta dengan perasaan malu sekali.

Karena panik, aku tidak melihat ada sepeda motor yang melaju kencang dan menabrakku sampai terpental. Dalam keadaan setengah sadar, aku melihat orang terakhir di atas bayangan mataku adalah kak Rory yang berteriak-teriak,

“A... a... adik... adik...”

Lima belas hari kemudian, aku terbangun tanpa bisa menggerakkan kaki dan tanganku, tulang leherku patah karena tabrakan itu. Kulihat ayah dan ibuku ada di sampingku. Tapi dimana kak Rory?

“Ibu, aku dimana?” tanyaku sambil menahan rasa sakit di mataku.

“Kamu di rumah sakit Rosie, kamu tidak bangun sejak 15 hari yang lalu, kamu dalam keadaan koma selama itu.”

Kulihat sekeliling dan memang aku berada di rumah sakit, tapi bukan itu yang ingin aku lihat. Aku ingin melihat kak Rory. Selama dalam keadaan tak sadar, aku selalu terbayang dia. Bayangan tentang masa-masa kecil yang bahagia bermain bersama dia, ketika dia menggendongku, ketika dia memberiku jajanan yang kusuka dan terakhir ketika dia bilang kalau dia sangat sayang padaku.

“Kak Rory dimana?”

Ibu menangis, sedangkan ayah terdiam, tapi kemudian dengan raut muka sedih dia berkata.

“Rory sedang dirawat di ruang sebelah...”

“Kak Rory sakit apa? Kok juga dirawat di rumah sakit?”

Aku bangkit dan ibu membantuku berjalan ke ruangan sebelah dan melihat kak Rory yang sedang tertidur sambil memeluk boneka yang dulu sering dia berikan kepadaku. Aku melihat kak Rory dengan rasa prihatin dan kulihat kedua matanya tertutup dengan perban,

“Kakakmu memberikan kedua matanya untuk kamu, ketika kecelakaan terjadi, kamu terjatuh dan kedua matamu rusak karena cairan raksa yang dibawa pengendara motor itu tumpah mengenai mata kamu.”

“Astaga... jadi kak Rory tidak bisa melihat lagi?”

Aku menangis saat mendengar penjelasan itu.

“Bukan hanya itu, ada pendarahan yang terjadi setelah operasi dan kakakmu jadi kritis begini.”

Aku meraih tangan kak Rory, sambil berkata,

“Kakak, bangun, maafkan Rosie... Rosie berjanji setelah kakak sembuh, Rosie akan sayang lagi sama Kakak...”

Tangan kak Rory bergerak dan berkata dengan cara seperti biasanya.

“A... a... adik.. kakak sayang kamu... ss... ss... sselamat ulang tahun...” kata kak Rory untuk terakhir kalinya.

Dan kalimat itulah yang terakhir bisa kudengar darinya. Kak Rory telah pergi untuk selamanya, selamanya untuk membuatku tetap hidup dengan kado kedua matanya untukku. Dokter sempat menolak untuk memberikan kedua matanya untukku, tapi kak Rory ngotot. Dia merasa tidak boleh lagi ada yang cacat di keluarga ini selain dia. 

Ibuku juga menolak operasi tersebut, tapi kak Rory malah marah dan tidak mau makan sampai dia bisa memberikan kedua matanya untukku. Akhirnya ibu pun luluh, dia ikhlas, dan operasi pun berhasil tapi kak Rory mengalami pendarahan dan kemudian keadaannya menjadi kritis dan akhirnya pergi untuk selamanya. 

Kak Rory pergi untuk selamanya demi membuatku merasa tak perlu lagi menahan malu karena memiliki kakak seperti dia. Kak Rory adalah seorang kakak berhati malaikat yang tak pernah berhenti mencintaiku sebagai adiknya.

Kakak, karena dirimu lah kini aku sadar,

Aku tidak terlahir sempurna tanpamu, walau dunia ini mungkin tidak pernah adil untuk kehidupanmui, tapi kau tetap kakakku yang terbaik

Selamat jalan kakak tercinta, maafkan semua kesalahanku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar