Rabu, 15 Februari 2023

Hukum Imam Memanjangkan Shalat Hingga Memberatkan Makmum


Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah sangat marah terhadap Mu’adz ketika dia memanjangkan bacaan saat mengimami manusia pada shalat Isya’. (Muttafaq a’laih)

Shalat jama’ah adalah ibadah yang sangat utama. Karena begitu besar keutamaan shalat jama’ah, maka bagi orang yang mendapati shalat jama’ah di mesjid dianjurkan untuk mengikuti shalat jama’ah meskipun dia sudah melakukan shalat sebelumnya. Meskipun demikian seorang Imam shalat jama’ah harus bijaksana untuk tidak memanjangkan bacaan shalatnya, karena diantara makmumnya mungkin ada yang mempunyai kebutuhan yang sangat mendesak.

Hadits-hadits dalam kitab Al-Muntaqa: Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian mengimami orang-orang, maka hendaklah ia meringankan (shalat) karena diantara mereka terdapat orang yang lemah, orang yang sakit dan orang yang sudah lanjut usia. Tapi jika ia shalat sendirian maka ia boleh memanjangkan sekehendaknya.” (HR, Jama’ah kecuali Ibnu Majah).

Dari Anas, dia berkata, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempersingkat (memperingan) shalat dan menyempurnakannya.” 

Dalam riwayat lain, “Aku tidak pernah shalat di belakang seorang imam yang shalatnya lebih ringan dan lebih sempurna daripada shalatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Muttafaq ‘alaih).

Dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Sungguh aku memasuki shalat dan ingin menyempurnakannya, kemudian aku mendengar tangisan bayi, maka aku percepat karena aku mengetahui perasaan ibunya yang sangat pilu karena tangisannya.” (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud dan An-Nasa’i)

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata, Hadits di atas menunjukkan disyariatkannya meringankan shalat bagi imam dan tidak memperpanjangnya karena alasan-alasan tersebut, yaitu adanya orang yang lemah, orang yang sakit, orang yang sudah lanjut usia, orang yang mempunyai keperluan mendesak, gangguan konsentrasi seorang ibu karena tangisan anaknya dan hal-hal lain yang semakna.

Abu Umar bin Abdil Barr mengatakan: Meringankan shalat bagi setiap imam adalah perkara yang telah disepakati, dan hukumnya sunnah menurut para ulama. Hanya saja dalam hal ini, batasannya adalah batas minimal kesempurnaan. Adapun menghilangkan atau mengurangi, maka tidak termasuk kategori meringankan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat seperti mematuknya burung gagak, yaitu ketika beliau melihat seorang laki-laki yang shalat dengan tidak menyempurnakan rukunya, beliau berkata kepadanya, “Kembalilah dan shalat lagi, karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Beliau juga telah bersabda, “Allah tidak akan memandang kepada orang yang tidak meluruskan tulang punggungnya di dalam ruku’ dan sujudnya.” (Nailul Authar 1, hal. 728).

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Mu’adz mengimami shalat Isya bagi para sahabatnya, lalu dia memanjangkan (shalat) hingga memberatkan mereka. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apakah engkau ingin menjadi orang yang menimbulkan fitnah, wahai Mu’adz? Apabila engkau mengimami orang-orang, bacalah Wasy-syamsi Wa Dhuhaha, atau Sabbihisma rabbikal a’la, atau Iqra’ bismi rabbika, atau Wal-laili idza yaghsya.’” (HR. Muslim 465, Bukhari 705)(Bulughul Maram, hadits 269)

Umar bin Abdul Bar mengatakan, “Meringankan shalat bagi seorang imam merupakan persoalan yang telah disepakati para ulama, bahkan disunnahkan, tetapi dengan syarat bahwa imam tidak mengurangi atau membuang kesempurnaan yang minimal dalam shalat. Jika imam sampai mengurangi kesempurnaan minimal shalat, perkara semacam ini tidak boleh dilakukan sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengerjakan shalat seperti seekor burung gagak terhadap makanannya. Hal ini pernah terjadi ketika beliau melihat seseorang mengerjakan shalat dengan ruku’ yang tidak sempurna. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ulangilah shalatmu itu! Sebab dengan cara seperti itu, sebenarnya engkau belum shalat.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi, “Allah tidak akan peduli terhadap shalat seseorang yang tidak meluruskan tulang rusuknya pada saat ruku’ atau sujud.”

Aku belum pernah mendengar pendapat yang menegaskan bahwa ada seorang ulama yang memperselisihkan masalah hukum sunnah meringankan shalat bagi seorang imam, tetapi dengan syarat kesempurnaan minimal pelaksanaan shalat tetap dijaga dan dipelihara.

Diriwayatkan pula dari Umar, “Janganlah kamu melakukan perbuatan yang menyebabkan Allah benci terhadap hamba-Nya, yaitu dengan memanjangkan shalat sehingga terasa berat bagi para makmum di belakang.” (Fiqih Sunnah 1, hal. 340).

Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fathul Mu’in berkata, Imam dimakruhkan melamakan shalatnya, walaupun dengan maksud agar jama’ah yang lain dapat menyamainya. Apabila seseorang yang shalat melihat kebakaran, maka ringkaskanlah shalatnya. Apakah meringankan itu wajib atau tidak? Hukumnya ada dua jalan. Adapun yang berlaku adalah wajib meringankannya untuk menyelamatkan hewan yang dimuliakan (oleh syara’). Boleh juga meringankan shalat untuk menyelamatkan harta benda (menjaga kerusakan).

Barangsiapa yang melihat hewan yang dimuliakan akan disakiti atau diambil oleh orang zalim (pencuri dan sebagainya), atau tenggelam, maka ia wajib menyelamatkannya dan mengakhiri shalat atau membatalkan shalatnya, kalau ia sedang shalat. Atau melihat harta (yang akan dirusak atau dicuri dan sebagainya) maka orang itu boleh menyelamatkannya dengan cara yang tersebut tadi, dan makruh bagi yang melihat kejadian itu bila tidak berusaha menyelamatkannya. (Fathul Mu’in 1, hal/ 372).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar