Selasa, 19 Juli 2022

Waktu Takziah Menurut Para Ulama


Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm berkata:

Apabila ikut menyaksikan jenazah, maka saya menyukai apabila ia mengundurkan takziah sampai mayit itu dikuburkan; kecuali apabila ia melihat kesedihan dan kegundahan keluarga yang mendapat musibah, maka ia dapat datang untuk meringankan musibah itu.

Dan saya menyukai apabila tetangga si mayit atau kerabatnya membuat makanan untuk keluarga mayit pada hari meninggal dan pada malam harinya yang dapat menyenangkan mereka, hal itu sunah dan merupakan sebutan yang mulia, dan merupakan pekerjaan orang-orang yang menyenangi kebaikan, karena tatkala datang berita wafatnya Ja’far, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan” (Musnad Imam Syafi’i No. 602; Al-Umm 1/397 ; lihat Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 387]

Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata:

Saya katakan, “Para sahabat Imam Asy-Syafi’i berpendapat, diperbolehkan takziah sebelum acara penguburan mayat, apabila dia melihat itu perlu karena keluarga yang berduka benar-benar depresi dan tertekan. Semua itu dilakukan agar bisa menyabarkan mereka dan merelakan kepergiannya. Wallahu a’lam.”

Takziah berlangsung selama tiga hari, dan tidak ada takziah setelahnya, kecuali orang yang menghibur sedang pergi. Menurut satu pendapat dari mazhab Syafi’i, dia terus menghibur yang berduka, tapi pendapat itu aneh. Pendapat yang sahih adalah pendapat yang pertama karena lebih mendekati kebenaran untuk dilakukan. [Raudhatuth Thalibin 1/948-950].

Pendapat para ulama tentang berkumpul di rumah ahli mayit

  • Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram mengutip hadits dari Abdullah Ibnu Ja'far Radliyallaahu 'anhu, dimana dia berkata:

“Ketika berita kematian Ja'far datang sewaktu ia terbunuh, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far karena telah datang sesuatu yang menyusahkan mereka.’” (HR. Imam Lima kecuali Nasa'i). [Bulughul Maram, hal]

  • Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:

Hadits ini dalil yang menunjukkan bahwa keharusan mengasihani dan menghibur keluarga yang ditimpa musibah kematian dengan memasakkan makanan baginya, karena mereka sibuk mengurusi kematian itu. Tetapi Ahmad meriwayatkan dari Jarir bin Abdullah bin Bajali,

“Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah)

Hadits dari Jarir bin Abdullah itu ditafsirkan bahwa maksudnya adalah pembuatan makanan oleh keluarga yang mati diberikan kepada mereka yang menguburkannya bersama mereka dan dihidangkan di hadapan mereka, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang tidak mengerti. [Subulusssalam 1, hal. 889].

  • Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata: 

Ucapan Jarir (kita (semua sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli mayit dan membuat makanan sesudah ditanam mayit itu, masuk bilangan “meratap”) maksudnya bahwa mereka menganggap berkumpul di rumah keluarga si mayat setelah dikuburkannya dan menyantap makanan di tempat mereka adalah termasuk meratapi mayat, karena hal itu membebani dan menyibukkan keluarga si mayat, padahal mereka telah dirundung musibah kematian, di samping itu, hal ini menyelisihi sunnah, karena yang diperintahkan kepada mereka adalah membuatkan makanan untuk keluarga si mayat, sehingga bila mereka melakukan itu, berarti menyelisihi perintah tersebut dan membebani keluarga tersebut untuk membuatkan makanan bagi orang lain. [Nailul Author 2, hal. 232-233]

  • Al-Bakri Dimyati dalam Kitab I’anatut Thalibin 2/165 menguraikan:

Dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk duduk-duduk bertakziah, dan membuat makanan supaya orang-orang berkumpul kesitu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”. 

Dan disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit –walau tetangga jauh– dan kenalan mereka, meskipun bukan tetangga, dan kerabatnya yang jauh, meskipun tidak di negeri si mayit, membuatkan makanan untuk keluarganya yang bisa mencukupi mereka sehari semalam. Dan aku telah membaca pertanyaan yang ditujukan kepada Mufti Mekkah tentang apa yang dilakukan keluarga mayit dalam membuat makanan. 

Jawaban mereka adalah sebagai berikut. Bentuk pertanyaannya adalah: Bagaimana pendapat Mufti-mufti yang mulia di negeri haram, semoga mereka selalu bermanfaat bagi masyarakat sepanjang hari, tentang adapt khusus yang berlaku di suatu negeri yang disana ada beberapa orang, bahwa bila seseorang telah berpindah ke negeri pembalasan (meninggal), berlaku kebiasaan bahwa mereka menunggu makanan. Karena malu yang besar bagi keluarga mayat, mereka memaksakan sesuatu dengan sempurna, dan mereka menyiapkan banyak makanan untuk mereka dan menghadirkannya kepada mereka dengan bersusah payah. Apakah bila penguasa, dengan bersikap halus terhadap rakyat dan berbelas kasih kepada keluarganya, melarang kebiasaan tersebut secara total agar mereka kembali berpegang kepada sunnah yang mulia yang berasal dari mahluk yang paling mulia (Rasulullah), semoga Tuhan melimpahkan rahmat dan salam kepadanya, beliau bersabda: “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far!”. 

Apakah diberi pahala bila dilakukan larangan tersebut? Berilah kami jawaban dengan jawaban yang sesuai dalil. Segala Puji bagi Allah, semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad, kepada keluarga dan sahabatnya, dan orang-orang yang menempuh jalan mereka sesudah beliau. Ya Allah, saya mohon kepadaMu agar diberi petunjuk kepada kebenaran. Ya. Apa yang dilakukan manusia dengan berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan, merupakan bid’ah yang munkar dan akan diberi pahala bagi atas pemberantasannya.

“Dan apa yang ditradisikan (dibiasakan) orang tentang pembuatan makanan oleh ahli waris, untuk mengundang orang banyak kepadanya, adalah bid’ah yang tidak disukai (oleh agama), sebagaimana berkumpul mereka untuk itu, karena telah sah apa yang diriwayatkan Jarir, “Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli waris dan membuat makanan sesudah mayit dikubur, itu termasuk nihayag (meratapi mayat)”. [I’anatut Thalibin 2/165]

  • Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad berkata:

Tuntunan beliau (Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam) adalah menghibur (takziah) keluarga mayat. Bukan termasuk tuntunan beliau mengumpulkan manusia lalu dibacakan Al-Qur’an. Semua ini merupakan bid’ah yang dibenci. Yang disunahkan ialah menciptakan suasana tenang, pasrah dan ridha terhadap qadha’ Allah. 

Tuntunan beliau adalah tidak membebani keluarga mayit untuk menghidangkan makanan. Tapi beliau justru menyuruh manusia agar mengirimkannya kepada keluarga mayit. Ini merupakan ahlak yang mulia dan dalam rangka meringankan beban penderitaan keluarga yang ditinggalkan mayit. [Zaadul Ma’ad 1, hal. 65]

  • Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata:

Oleh karena itu, apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang di masa kini, yaitu bertakziah sambil duduk berkumpul, mendirikan tenda, membentangkan amparan, serta menghamburkan uang yang tidak sedikit, termasuk bid’ah yang dibuat-buat, dan bid’ah yang mungkar yang wajib dihindarkan oleh kaum muslimin dan terlarang mengerjakannya. Apalagi banyak pula terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan menyalahi sunnah. 

Justru sebaliknya, ia sejalan dengan adat istiadat jahiliyah, misalnya menyanyikan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mengindahkan norma dan tata tertib qira’at, tanpa menyimak dan berdiam diri, sebaliknya asyik bersenda gurau dan merokok. Dan tidak hanya sampai di sini, tetapi orang-orang hartawan melangkah lebih jauh lagi. Mereka tidak puas dengan hari-hari pertama, tetapi mereka peringati pada hari keempat puluh untuk membangkitkan kemungkaran-kemungkaran dan mengulangi bid’ah ini. 

Tidak saja mereka peringati genap satu tahun masa wafatnya, tetapi juga genap dua tahun dan seterusnya, suatu hal yang tidak sesuai dengan pikiran sehat dan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah Nabi. [Fiqih Sunnah 2, hal. 203-204].

  • Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata:

Saya katakan, “Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”

Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’. 

Jika para perempuan berkumpul untuk membuat makanan, maka mereka dilarang untuk mengambil makanan tersebut karena itu membantu untuk berbuat maksiat. [Raudhatuth Thalibin 1/139 (1/950].

Jadi dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa takziah dilakukan tidak boleh melebihi hari ketiga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar