Kufu’ dalam agama.
Menurut Imam Malik, ungkapan kafa’ah ini khusus untuk agama. Bahwa orang yang bagus agamanya, ia sekufu’ dengan pasangan yang bagus pula agamanya. Imam Syafi’i juga mendukung pendapat ini. Bahwa kafa’ah adalah dalam bidang agama, iman taqwa dan akhlaknya.
Jadi, kafa’ah dalam bidang agama yang dimaksud bukanlah tingkat pengetahuan terhadap agama, melainkan pengamalan terhadap agama, terhadap syariat Islam.
Kufu’ dalam nasab.
Sepadan dalam hal nasab atau keturunan menjadi pertimbangan penting dalam pernikahan sebab tujuan pernikahan adalah meneruskan generasi. Tentunya setiap pasangan ingin mendapatkan generasi penerus yang baik, sehingga kufu’ dalam hal nasab menjadi pertimbangan penting.
Hal ini tidak berpengaruh pada keabsahan atau sahnya akad nikah yang dilakukan. Karena, sesungguhnya sekufu’ itu tidak termasuk syarat sah nikah, sebagaimana Nabi saw memerintahkan Fatimah binti Qois untuk menikah dengan Usamah bin Zaid. Dan Fatimah pun menikah dengannya. Demikian yang dijelaskan dalam haditst riwayat muttafaq alaih.
Meski demikian, bukan berarti masalah usia, harta dan kedudukan serta kecantikan dan ketampanan diabaikan begitu saja. Sebab kita hidup bersama keluarga besar dan masyarakat. Kita hidup dengan lingkungan dan situasi yang tidak sama dibandingkan dengan lingkungan dan situasi yang dialami oleh para sahabat.
Bahkan, ada pula sahabat yang akhirnya bercerai karena ketidakcocokan istri dengan ‘ketampanan suami.’ “Ya Rasulullah,” kata istri Tsabit bin Qais, “Aku ingin meminta cerai dari Tsabit bukan karena aku mencela agamanya dan akhlaknya, akan tetapi aku khawatir diriku menjadi kufur.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya; “Sanggupkah kamu mengembalikan tanah kebun yang ia berikan kepadamu sebagai mas kawin ketika pernikahanmu dulu?” Ia menjawab; “Ya, aku sanggup.” Ia pun mengembalikan tanah kebun itu. Rasulullah lalu berkata kepada Tsabit, “Ceraikanlah dia.”
Akan tetapi, kesamaan itu termasuk syarat penting untuk menyempurnakan sebuah akad nikah saja. Seandainya seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki yang tidak sepadan dengannya dan wanita tersebut atau wali-walinya tidak mau menerima dan menyetujuinya, maka nikah itu menjadi batal. Hal ini dikarenakan pernah ada seorang ayah yang menikahkan putrinya dengan anak saudara sendiri hanya untuk memperbaiki kedudukannya yang hina atau lebih rendah, maka Nabi saw memberikan hak bagi seorang wanita tersebut untuk memilih. Dari kisah ini sebagian ulama menyimpulkan bahwa kafa’ah atau sekufu’ itu menajdi syarat sah nikah. Pendapat ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Syekh Imam Taqiyuddin berkata, “Yang setuju dengan pendapat yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad itu, ditambah dengan mengajukan sebuah syarat yaitu ketika kondisi seorang laki-laki telah jelas baginya bahwa dia tidak sepadan untuk wanita tersebut. Kemudian keduanya berpisah dan tidak ada seorang wali pun yang menikahkan wanita dengan laki-laki yang tidak sepadan dengannya. Dan seorang laki-laki tidak pula ingin menikah dengan wanita yang tidak sepadan dengannya. Wanita pun tidak ada yang mau melakukan hal itu. Sedangkan, kafa’ah sebenarnya tidak dipandang dari segi ekonomi seseorang. Misalnya, dilihat dari besarnya mahar wanita tersebut. Seandainya wanita itu menyukai laki-laki yang akan menikahinya dan para walinya juga setuju, maka dengan demikian mereka harus menerimanya atau meninggalkan yang lain. Pada hakikatnya bukan begitu. Akan tetapi, ini hanya sebagai salah satu bahan pertimbangan saja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar