Rabu, 22 Juni 2022

Depresi Teratasi karena Tahajud (dr. Sulistyo M. Agustini SpPK - Dokter)



Depresi akrab dengan kehidupan dr. Sulistyo M. Agustini SpPK, pembina Korps Sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ia gampang cemas dan panik. Ia pun kerap merasa tertekan batinnya. Gangguan ini dialami Agustini sejak kecil. Tepatnya, sejak ditinggal sang ibu, almarhumah S. Hermiani, ketika usianya baru menginjak 12 tahun.

“Sejak ibu meninggal, saya sakit-sakitan, sampai berkeluarga saya juga sering sakit-sakitan, tapi saya tidak mengerti itu dampak dari depresi yang lama karena saya tidak pernah merasakan itu menjadi suatu gejala atau gangguan psikologis...” ujarnya.

Ia melewati semuanya sendirian. Jatuh bangun sendirian, begitu dia mengistilahkan. “Setiap saya mengalamai sakit tak ada bimbingan sehingga persoalan-persoalan hidup tidak bisa teratasi sendiri,” ujar Agustini.

Beruntung, kemudian ia kenal dengan Prof. Dr. Moh Shalih Mpd PNI, ahli terapi shalat Tahajud yang juga Guru Besar IAIN Surabaya. Dengannya, ia mengaku banyak belajar bagaimana shalat khusyuk dan shalat Tahajud. Ia pun mempraktikkannya secara rutin. Makin hari, ia terasa makin terikat batinnya dengan Sang Khalik. “Batin menjadi tenteram dan tidak merasa sendiri lagi...” ujarnya tentang manfaat Tahajud.

Di tengah malam ia selalu bermohon kepada Allah. Ya Allah hari ini saya banyak persoalan, saya hanya manusia lemah, saya mohon kekuatan-Mu. “Ternyata itu yang membuat saya makin tenang menjalani berbagai persoalan. Saya bisa lebih sabar, emosi saya bisa dikendalikan,” ujarnya.

Menurut dokter yang dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang jurusan Patologi Klinik ini, sudah beberapa tahun ini ia mendawamkan shalat Tahajud. Ia juga tak segan untuk meresepkan Tahajud kepada pasien-pasiennya. 

“Jadi apapun sakitnya sebaiknya dibantu dengan shalat Tahajud, dengan memohon kesembuhan pada Allah. Meminum obat itu hanya satu sarana untuk menyembuhkan.”

Ia mengaku kini makin hari hidupnya makin tenang. “Alhamdulillah, dengan shalat Tahajud rasanya hidup ini tidak ada sulitnya. Pasti ada solusinya yang langsung diberi oleh Allah SWT,” ungkap ibu tiga anak ini.

Kebesaran Allah SWT kembali terbukti saat ia melaksanakan ibadah haji tahun 2002. Sejak berangkat dari tanah air, mantan kepala Unit Transfusi Darah (UTD) PMI Kabupaten Malang ini merasa saat puncak pelaksanaan ibadah haji, kemungkinan besar dirinya sedang datang bulan. Apalagi dia adalah tipe wanita yang siklus haidnya selalu tepat.

Namun di luar dugaannya, sampai selesai wukuf di Padang Arafah, ia belum datang bulan. Padahal, ia tidak mengonsumsi obat-obatan apapun. 

“Alhamdulillah saya diberikan kemudahan, saya disana tidak hidup dengan siklus yang sebenarnya. Bagi saya itu menjadi suatu keanehan yang luar biasa...” ujarnya. Maka seluruh sunnah dan rukun haji dilaksanakannya tanpa hambatan.

Kejadian di Masjid Nabawi juga menambah keimanannya. Saat itu, dia jatuh sakit sehingga berpikir tidak akan bisa melakukan shalat Arbain. “Saya sudah pasrah karena badan saya demam, panas tinggi seperti terbakar. Bahkan saya merasa tidak bakal hidup lebih lama lagi...” ujarnya.

Ia duduk di pinggiran masjid, sampai kemudian datang seorang wanita tua yang membawa air zamzam di tangannya. Wanita itu mendo’akannya dengan do’a waktu Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud dan membasuhnya dengan air itu. Ia juga diminta untuk melakukan shalat taubat.

Ia pun bergerak untuk melakukan shalat. Di raka’at kedua, ia merasa badannya ringan. Usai shalat, ia merasa panas tubuhnya menurun. “Saya bahkan sempat membaca Al-Qur’an meskipun tajwid saya waktu itu tidak bagus...” ujarnya. 

“Subhanallah!...” kata itu yang selalu keluar dari bibirnya jika mengingat kebesaran Allah yang dilimpahkan baginya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar