Rabu, 30 Maret 2022

Utang Pengusaha Kelas Kakap


Saya mencoba mengingat-ingat saat pertama kali kami mulai bersentuhan dengan hutang. Kala itu awal tahun 2001 saya menjadi manajer salah satu perusahaan multinasional di usia 28 tahun. Gaji saya saat itu sebenarnya tidak terlalu fantastis dibandingkan manajer lainnya, namun cukup membuat kami terlalu percaya diri untuk mengajukan KPR rumah pertama kami di Citra Gran Cibubur. Rumah ala Bali itu sangat indah persis di depan danau dan taman yang cantik di dalam kompleks yang lengkap dengan seluruh fasilitasnya. 

Rasanya sangat bangga bisa pindah dari rumah ukuran 75m persegi ke rumah yang 3-4x lebih besar itu. Namun, rupanya Allah tidak ridho kami menikmati riba. Beberapa bulan kemudian saya menerima ‘golden shakehand’ alias keluar dari pekerjaan/jobless. Padahal suami adalah pebisnis dengan pendapatan yang masih ‘Senin-Kamis’. Sebagian besar uang pesangon yang saya terima saya bayar untuk menutup sebagian hutang pokok KPR. Dan kami hidup 3 tahun tanpa pendapatan tetap dan sisa cicilan KPR.

Belum kapok dan sadar juga, pada tahun 2004 suami saya mengembangkan usaha arsitekturnya yang telah dirintis sejak tahun 1996 itu menjadi penyedia jasa pemeliharaan gedung. Mendapatkan kontrak senilai 1,7 milyar saat itu rasanya sudah jadi pengusaha kelas kakap. Dan untuk membiayai proyek ini kami langsung melirik deposito ayah saya untuk ‘disekolahin’ di BPR. Itulah awal prahara berikutnya, tagihan 500 juta macet! Nggak bergeming berbulan-bulan, bunga menggunung dan ayah sayapun ikutan sakit perut.

Bukan hanya itu saja, tahun 2006 usaha kami nyaris bangkrut, kantor kosong dan saldo usaha minus 1,5 milyar. Rupanya Allah Maha Baik sekali lagi mengingatkan kami jangan menikmati riba. Tap ternyata nggak kapok juga, pada tahun 2008 kami memenangkan tender senilai 12 milyar untuk tenor dua tahun dengan kenyataan saldo usaha kami di bank cuma 10 juta. Bagaimana mau menjalanakan proyek ini? Klien saja tidak percaya, bahkan kontrak kami mau dibatalkan. Akhirnya ayah saya merelakan deposito dan rumahnya untuk dijadikan agunan pinjaman modal kerja di bank. Dengan dana itupun kami menutup KPR rumah di Citra Gran. Bukan karena takut riba, bukan. Anda salah!! Kami tutup KPR-nya sebab rumah itu mau kami ‘sekolahin’ lagi. 

Dan bisnis kami berkembang 3000% sehingga sejak 2010 kami dihujani banyak award: Ernst & Young, Asia Pacific, ASEAN secretriat di Kamboja dan lain-lain. Award-award yang membuat manusia ujub/sombong dan lupa daratan. Hidup kamipun berubah drastis, pindah rumah ke kawasan mahal di Jakarta dengan luas 4-5x lebih besar. Semua mobil yang dulunya jadi idaman ketika ‘kere’ sekarang mampu dibeli semua. Dan kamipun pindah dari kantor sewaan ke ruko 6 lantai milik sendiri. Supaya lengkap, kami juga menunaikan ibadah haji dengan ONH plus-plus.

Sepulang haji ini, Allah alhamdulillah memberikan ‘ganjaran’ ke kami berupa tagihan macet. Kali ini nilainya fantastis!! Saya menangis melihat saldo bank yang mulai seret ketika dibuka semua laporan keuangan saya baru sadar tagihan kami 9 milyar belum dibayar salah satu klien kami plus masih ada tagihan macet lainnya. Bukan hanya itu saja, salah satu klien kami yang dimiliki teman dekat kami gagal bayar hampir 1 milyar karena usahanya ‘dipailitkan’.

Eh, sepasang pebisnis mabok ini belum kapok juga. Pinjaman modal ditingkatkan kali ini dengan menyekolahkan ruko ayah mertua dan ruko kantor kami. Ck ck ck bangga sekali keluar dari bank sekarang pinjamannya sudah 11 digit dan Allah Maha Pengasih memberikan kami peringatan yang berikutnya. 

Adik kakak saya ‘menyidang’ saya dan meminta saya melepas agunan rumah ayah saya sambil menyampaikan rasa marah mereka. Hati saya hancur, hubungan saya dengan orang-orang terkasih lebih hancur lagi. Saya menangis siang malam karena ‘sakit hati’ dan mulai rajin berdoa kepada Allah untuk dimudahkan membayar hutang bank tersebut agar agunan rumah ayah saya terbebas.

Hutang baru kami dapatkan dengan melakukan tukar guling agunan rumah ayah saya dengan rumah kami yang lebih besar sehingga total pinjaman modal kerjapun meroket membuat kami bahagia sejenak. Ternyata beban menanggung hutang ini terasa sangat berat buat saya yang kebetulan di posisi operation director yang harus berjuang keluar dari corporate trap dan melihat kenyataan cash flow yang melambat walau diguyur lebih banyak dana pinjaman bank. 

Pada tahun 2012 saya menyadari ada benjolan sebesar kelereng di leher saya dan pada bulan oktober 2014 saya di operasi 2x, hari Senin angkat tiroid dan Kamisnya angkat tiroid satu lagi + kankernya. Astaghfirullahhhh… Cukup sudah semua ini, ketika saya sulit siuman pada operasi ke dua, saya mendapatkan hikmah dari perjalanan spiritual saya bahwa Allah ingin memberikan kesempatan saya sekali lagi untuk bertaubat atas segala maksiat saya. Dan saya pun lebih keras lagi berdoa siang malam memohon terbebas hutang riba semata-mata karena saya lelah dan tidak ingin sakit lagi. 

Saya tidak sadar akan dosa riba, saya benci berhutang ketika itu karena saya anggap sebagai sumber utama penyakit saya. Saya ingin istirahat dan tidak ingin terbebankan dengan bisnis dan hutang saya lagi. Nawaitu yang benar-benar salah jendral. Niatnya bukan karena Allah!! Jangan di tiru ya.

Dalam perjalanan tersebut kami diberi referensi oleh saudara kami yang punya nama ‘sangat baik’ di mata bank karena pinjamannya yang sudah hampir 14 digit. Kami pun saat itu sangat ‘bersyukur’ karena kami dapat lagi pinjaman lebih besar lagi dengan agunan gabungan rumah mertua, rumah Cibubur dan ruko kantor.

Tidak lama kemudian Allah kali ini benar-benar murka terhadap kami. Dalam kurun waktu 8 bulan… 90% tagihan kami macet. Semua tender kami kalah, semua kontrak batal didapatkan, kerugian dimana-mana, gagal bayar gaji karyawan pun terjadi dimana selama 10 tahun berbisnis outsourcing tanpa cacat dengan nama baik yang sebelumnya prima itu. Belum lagi saldo kami berkali-kali minus yang membuat kami harus menambah pinjaman bank dari plafon yang ada bahkan saya harus menjual semua emas-emas batangan simpanan saya.

Terus terang, sebagai business coach saya sudah menyuntikkan semua ilmu manajemen yang saya tahu. Sampai saya akhirnya menyerah dan berkata ke suami saya, “Sayang, kayaknya Allah nggak ridho deh dengan bisnis kita, kita udah bebas KKN, menunaikan semua shalat sunnah, sedekah zakat jalan lancar, bapak yang pikunpun sudah kita rawat dengan baik di rumah, menjaga silaturahmi dengan teman-teman dan kerabat, CSR terus kita jalankan untuk menolong dan memberi ke banyak pengusaha UKM muda… Tampaknya ada maksiat yang sudah kita lakukan, mari kita intropeksi diri masing-masing.”

Dalam situasi terhimpit ini, saya pun mendadak mulai merasa terpaksa kerja rodi dan diperbudak oleh pajak, bank dan klien besar-besar itu. Saya marah, menangis, stress dan akhirnya saya bersimpuh memohon ampun dan berdoa, “Ya Allah, berikanlah kemudahan dan petunjuk kepada kami untuk mampu melunasi hutang kami. Dan berikan hidayah kepada suamiku agar bliau setuju untuk tidak menggunakan hutang bank lagi”

Ketika itu bulan Juli 2015 di bulan suci Ramadhan… Allah mengabulkan doa saya dan memberikan pertolongan melalui sahabat kami Yanty yang mengenalkan kami ke ustadz Samsul Arifin. Dalam perbincangan sekitar 1-2 jam dengan teman-teman di komunitas syarea ketika itu, suami saya terpana mendengar kisah-kisah #PengusahaTanpaRiba itu. 

Dan kemudian dalam perjalanan pulang suami saya berkata seperti menggumam, “Sepertinya kita harus lunasi semua hutang bank kita, hanya itu caranya,”

Allahu Akbar!

Allah Maha Besar, walau kami sudah sedemikian ‘bandel’ Allah masih memberikan kesempatan untuk taubat sebelum kelak kami di panggil olehNya. Bayangkan kalau Allah tidak memberikan petunjuk kepada kami, entah apa yang akan terjadi pada bisnis kami, pada keluarga kami dan tidak tebayang nanti siksa kubur dan neraka. Naudzubillah. Lega rasanya terselamatkan di detik-detik terakhir. (Sumber: http://www.litamucharom.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar