Senin, 01 November 2021

Hikmah Dibalik Prahara Rumah Tangga.



Sebenarnya tujuan utama dalam membentuk rumah tangga adalah mencari sebuah kebahagiaan. Dengan berumah tangga secara syariat Islam, selain menunaikan perintah Allah swt juga lebih menenangkan hati. Jika melakukan sebuah aktifitas dengan hati yang tenang, maka kebahagiaan bukan suatu hal yang sulit dicapai. 

Namun tak bisa dipungkiri bahwa dalam sebuah pernikahan tentu ada berbagai persoalan yang seringkali menyita perhatian kita. Bahkan ada yang sampai berantakan rumah tangganya. Namun alangkah meruginya seorang mukmin yang rumah tangganya hancur gegara permasalahan rumah tangga.

Mencari kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga tak ubahnya mencari ‘benda kesayangan’ yang lenyap di rerimbunan hutan belukar, atau menuntaskan dahaga dengan meneguk air embun yang dikumpulkan dari dedaunan di kebun yang luas membentang. Sesuatu yang harus, tapi tidak bisa diperoleh dengan bersantai-santai, tidak bisa dicapai usaha yang dilakukan setengah-setengah. Namun di situlah letak seni kebahagiaan dalam rumah tangga, bahkan dalam persepsi umum, juga kebahagiaan dalam segala hal.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya di balik kesulitan, pasti terdapat kemudahan.” (Al-Insyiraah: 6)

Pepatah Arab mengatakan:

“Bersusahpayahlah. Kerena kenikmatan hidup itu didapatkan melalui kepayahan.”

Tentu saja, segala kesulitan itu bukanlah hal yang kita cari-cari. Tapi garis takdir dan sunnatullah telah tergurat sedemikian rupa dalam realitas kehidupan rumah tangga siapapun di dunia ini, termasuk rumah tangga Rasulullah saw. Bahkan realitas itu mirip dengan fenomena dosa. Setiap muslim harus menghindari dosa. Tapi tak seorangpun yang terbebas dari dosa. Sehingga Rasulullah saw menegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya:

“Masing-masing anak manusia adalah pelaku dosa. Namun sebaik-baiknya orang yang berdosa adalah yang paling banyak bertaubat.”

Bahkan dalam Miftaah Daaris Sa’aadah jilid kedua, Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa di antara hikmah terjadinya dosa adalah agar semakin jelas keberadaan Allah sebagai Yang Maha Pengampun, dan juga keberadaan Allah sebagai Yang Maha Dahsyat siksa-Nya. Melalui rangkaian dosa demi dosa, muncul berbagai keutamaan istighfar dan bertaubat. Bahkan karena ‘dosa’ Adam, umat manusia berkesempatan melakukan banyak amal kebajikan, menebarkan amar ma’ruf nahi mungkar di dunia ini. Untuk tujuan itu pula diutus para nabi. Semua itu adalah hikmah dari adanya dosa. Namun tidaklah berarti kita hidup untuk berbuat dosa. Demikian juga halnya berbagai problematika dalam hidup rumah tangga. Meski bukan hal yang dicari-cari, namun mau tidak mau harus tetap dihadapi, dan pada akhirnya, bagi seorang mukmin sejati, pasti akan merasakan ribuan hikmah yang tersembunyi.

Saat bahtera rumah tangga mulai didayung, suka dan duka kehidupan suami istri mulai dirasakan secara bergantian. Soal kenikmatan dan kebahagiaannya, tidak perlu diungkapkan lagi. Hanya sepasang pengantin yang sedang ‘dilanda’ bulan-bulan kenikmatan yang mampu mengungkapkannya secara lebih hidup dan nyata. Namun saat hubungan interaksi mulai berlangsung, saat kepekeaan, emosi dan tingkat intelektualitas mendapat ujian menghadapi batu-batu sandungan, masing-masing harus lebih mawas diri. Kesabaran menjadi kata kunci menuju sukses melawan berbagai masalah yang mendera. 

Kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul, yang mungkin bisa diistilahkan sebagai bumbu rumah tangga, bisa berpangkal dari banyak hal. Mungkin di antaranya perbedaan karakter dasar, perbedaan tingkat intelejensi, kadar intelektualitas dan wawasan berpikir, perbedaan usia yang terlalu menyolok, perbedaan latar belakang pengalaman, satus sosial dan lingkungan hidup, perbedaan pemahaman dan prinsip hidup dan beragama, kurangnya pengalaman interaksi social, kesulitan ekonomi dan bias juga cacat dan kekurangan fisik ataupun mental yang baru diketahui belakangan.

Di antara beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya konflik dalam rumah tangga tersebut, ada yang bersifat prinsipil sehingga tidak bisa ditolerir, seperti perbedaan prinsip hidup dan pemahaman agama. Dalam hal ini, harus ada penyatuan melalui dialog dan pembicaraan dari hati ke hati. Bila tidak mungkin, bisa menjadi kendala yang tidak akan terselesaikan kecuali dengan perceraian. 

Di antara faktor lain, ada yang sah dijadikan alasan untuk ‘menggugat pernikahan’, seperti cacat tersembunyi, atau perbedaan tingkat intelejensi dan status sosial yang terlalu menyolok. Dalam istilah agama disebut perbedaan kufu. Namun bukan berarti tidak bisa diatasi sama sekali. Sementara faktor-faktor lain lebih menyerupai kendala umum yang hampir dialami oleh setiap rumah tangga.

Tidak perlu sempurna untuk menjadi pasangan yang setia dan bahagia. Semua dari kita memiliki kelemahan dan kekurangan. Tidak ada suami yang sempurna, sebagaimana tidak ada istri yang sempurna. Untuk itu, yang diperlukan adalah kedewasaan sikap dalam menjalani kehidupan keluarga. Setiap badai, setiap masalah, setiap tantangan, harus disikapi dengan penuh kehati-hatian, agar tidak menggoyahkan kekokohan keluarga. Masalah sebesar apapun akan terasa indah, apabila mampu disikapi dengan tepat dan dilewati dengan kebersamaan.

Di antara kunci menikmati kebersamaan adalah pada sikap suami dan istri saat menghadapi permasalahan. “Kita hadapi bersama”, adalah kata kuncinya. Persoalan suami dan istri harus dihadapi bersama, bukan saling melempar kesalahan kepada pihak lainnya. Kadang suami merasa benar sendiri, dan menganggap istri yang salah. Kadang istri merasa selalu benar, dan suamilah yang salah. Sikap saling melempar ini tidak produktif, karena menunjukkan ketidakdewasaan sikap hidup berkeluarga.

“Itu masalahmu sendiri, bukan masalahku”, ungkapan seperti ini menandakan tidak adanya kebersamaan saat menghadapi permasalahan. Bahkan seandainya masalah tersebut terkait pekerjaan di kantor, atau urusan yang menyangkut jabatan, profesi, atau posisi di tempat kerja. Suami dan istri tetap memiliki peran saling meringankan dengan berbagai cara yang bijak. Bukan intervensi dalam sisi profesional atau jabatan, tetapi intervensi dalam kaitan moral. Sebagai suami istri, yang harus saling berbagi, saling meringankan beban, saling membantu dan menjaga.

Masalah apapun akan lebih ringan dihadapi, apabila suami dan istri mampu menjaga sikap “kita hadapi bersama.” Sikap ini menunjukkan kuatnya kebersamaan antara suami dan istri. “Ini masalah kita, maka mari kita hadapi bersama.” Alangkah indah sikap seperti ini. Sebuah kedewasaan dalam menjalani hidup bersama di dalam rumah tangga. Suami dan istri saling bergandengan tangan, melewati hari-hari penuh kebahagiaan, karena mereka mampu merawat kebersamaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar