Selasa, 09 November 2021

Apa Itu Syahid?




 

A. Pengertian Syahid.

Syahid (kata tunggal Bahasa Arab: sedangkan kata jamaknya adalah Syuhada, Bahasa Arab: ) merupakan salah satu terminologi dalam Islam yang artinya adalah seorang Muslim yang meninggal ketika berperang atau berjuang di jalan Allah membela kebenaran atau mempertahankan hak dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk menegakkan agama Allah.

Keinginan kuat untuk mati fî sabilillah dalam literatur islam diistilahkan dengan istisyhâd. Untuk mewujudkan keinginan ini, acap kali sampai mengorbankan nyawa. Istisyhâd merupakan derivasi dari kata istasyhada-yastasyhidu-istisyhâd, berarti thalab al-syahâdah. Ia berasal dari akar kata syahada-yashadu-syahâdah, berarti kesaksian. Orang yang gugur fisabilillah disebut dengan syahîd (jamak syuhadâ’). Seseorang dinamakan dengan “syahîd” karena yang bersangkutan diperlihatkan kepadanya surga, ia hidup di sisi Tuhannya (QS. Âli ‘Imrân [3]: 169-171, QS. al-Baqarah [2]: 154), dan kematiannya dipersaksikan oleh para malaikat. Menurut Ibn Hajr al-‘Asqalâniy, selain alasan di atas, karena malaikat rahmat ikut menyaksikannya, kematiannya husn al-khâtimah, dan Allah ikut menyaksikan keikhlasan niatnya. 

Mendapatkan gelar syuhadâ’ merupakan salah satu motivasi besar bagi sahabat nabi dalam jihad. Besarnya iming-iming pahala mati syahîd, dapat dilihat dengan mudah dalam beberapa riwayat atau hadis nabi yang menyatakan hal tersebut. Misalnya hadis yang menyatakan bahwa seorang syahîd yang telah masuk surga, masih ingin kembali dunia, agar bisa beroleh gelar syahîd lagi hingga sepuluh kali. Atas dasar hadis nabi ini juga yang membakar semangat sahabat dalam membela diri mereka ketika harus diintimidasi dan diusir dari kota Mekah, kampung kelahiran mereka sendiri.

B. Istisyhâd Sahabat di Zaman Nabi.

Praktek istisyhâd pernah terjadi di zaman rasulullah dan sahabat. Selain dalam kitab sejarah, dapat juga ditelusuri dari hadis-hadis nabi. Berikut akan diungkap di antaranya:

1. Hadis Jâbir ibn ‘Abd Allâh:

‘Amr dan Jâbir berkata, “Seorang laki-laki bertanya, ‘Dimana aku jika terbunuh, wahai Rasulullah?’ Rasulullah bersabda, ‘Di surga.’ Lalu laki-laki tadi membuang korma-korma dari genggaman tangannya, kemudian ia berperang hingga terbunuh.”

Hadis di atas mengisahkan keinginan kuat seorang sahabat untuk mati syahîd. Menurut al-Bukhâriy—berdasarkan riwayat Suwaid—, peristiwa tersebut terjadi dalam perang Uhud. Perang Uhud adalah peristiwa bersejarah bagi umat Islam. Perang Uhud terjadi setelah perang Badar, dimana kaum kafir Quraisy mengalami kekalahan besar ketika itu. Untuk membalas kekalahan tersebut, mereka menyiapkan kekuatan besar untuk menghancurkan Nabi serta para sahabat dalam perang Uhud. Pada awalnya, pasukan Islam dapat menguasai keadaan hingga pasukan kafir Quraisy kocar-kacir. Kesalahan fatal dilakukan oleh pasukan pemanah yang meninggalkan bukit Uhud. Kemudian, Khâlid ibn Walîd (belum Islam), mengambil jalan memutar hingga berhasil menguasai bukit Uhud. Dari tempat yang strategis inilah, Khâlid ibn Walîd berhasil memutar keadaan, hingga banyak pasukan Islam yang mati syahîd, di antaranya paman Nabi Hamzah ibn ‘Abd al-Muthallib. Ketika itu, banyak sahabat Nabi yang mengorbankan jiwanya untuk membela Nabi yang pasukan Islam, di antaranya seperti yang dikisahkan oleh hadis di atas.  

Imam al-Nawawiy ketika mensyarah hadis tersebut, memahaminya sebagai dalil untuk bersegera berbuat kebaikan dalam bentuk apapun. Dalam konteks perang Uhud, dimisalkan dengan pengorbanan sahabat untuk istisyhâd. 

2. Hadis Anas ibn Mâlik:

Dari Anas ibn Mâlik, Anas berkata, Rasulullah Saw. mengutus Busaisah untuk memata-matai kafilah dagang Abû Sufyân. Busaisah menemui Nabi di rumahnya, dan ketika itu hanya ada dia dan Nabi. Beliau keluar rumah sambil berkata, “Sesungguhnya yang kami minta adalah barang siapa kudanya telah siap, maka ia kendarai bersama kami.” Beberapa orang sahabat minta izin mengambil kuda mereka yang berada di atas bukit Madinah. Nabi menjawab, “Tidak usah, kecuali yang sudah siap saja.” Lalu, Rasulullah Saw. dan sahabat berangkat hingga dapat mendahului orang musyrik sampai ke Badar. Tatkala orang musyrik sampai ke Badar, Rasulullah berkata, “Jangan ada seorang pun dari kalian berada di depan kecuali aku juga bersamanya. Ketika orang musyrik mendekat, Rasulullah berkata, “Berangkatlah kalian menuju surga yang luasnya terbentang antara langit dan bumi.” Sahabat ‘Umair ibn al-Humâm al-Anshâriy berkata, “Wahai Rasulullah, Surga yang seluasnya langit dan bumi?” Nabi menjawab, “Ia.” ‘Umair berkata, “Bagus, bagus”. Rasulullah kembali bertanya, “Apa yang menyebabkan Engkau berkata, “Bagus, bagus?” ‘Umair menjawab, “Wahai Rasulullah, aku hanya berharap menjadi penduduknya (surga).” Nabi berkata, “Sesungguhnya Engkau termasuk penduduknya.” Kemudian ia mengeluarkan korma yang dimilikinya dan memakan sebagiannya, lalu berkata, “Jika aku hidup karena makan korma ini, sesungguhnya itu termasuk hidup yang panjang,” lalu ia buang korma itu, dan pergi memerangi musuh hingga terbunuh (syahîd). 

Hadis di atas, berkenaan dengan peristiwa persiapan Nabi menghadapi perang Badar. Kisah sahabat ‘Umair ibn al-Humâm al-Anshâriy dan Nabi yang dikisahkan pada hadis di atas, menandakan kesiapannya untuk mati syahîd. Dalam kondisi perang, semangat istisyhâd sangat dibutuhkan karena merupakan modal utama kemenangan. Hal itu, terbukti ketika Nabi berhasil mengalahkan kafir Quraisy yang secara kuantitas berjumlah sekitar 1.500, sedangkan kaum muslimin hanya berjumlah sekitar 313 orang.

3. Hadis ‘Abd Allâh ibn Qais:

Dari ‘Abd Allâh ibn Qais, yang ketika itu berada di hadapan musuh. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga berada di bawah bayangan pedang.” Seorang laki-laki kumal berdiri lalu berkata, “Wahai Abû Mûsâ, Engkau dengar Rasulullah Saw. berkata demikian? Abû Mûsâ berkata, “Ia”, lalu ia kembali kepada sahabatnya seraya berkata, “Saya doakan kalian mendapatkan keselamatan,” ia pecahkan sarung pedangnya, dibuang dan perjalan ke arah musuh dengan pedang terhunus. Ia berperang hingga terbunuh.

Hadis di atas, secara redaksional menyatakan bahwa jihad dengan hadir ke medan perang melawan musuh, merupakan jalan menuju surga. Jihad perang juga yang menjadikan sebab masuk surga. Ungkapan Nabi pada hadis di atas, adalah dalam konteks di medan perang, seperti yang dilihat langsung oleh ‘Abd Allâh ibn Qais. Hadis ini juga yang memberikan semangat patriot kepada tentara Islam ketika melawan musuh. 

Anas Ra. berkata, “Pamanku yang senama denganku (Anas ibn al-Nadhr) tidak ikut bersama Rasulullah dalam perang Badar. Hal itu menyedihkannya. Lalu berkata, ‘Pada perang pertama yang dihadiri Rasulullah, tapi aku tidak menghadirinya. Jika Allah menghendakiku pada peperangan setelah ini, sungguh Allah akan melihat apa yang aku perbuat.’ Kemudian, ia ikut perang Uhud bersama Rasulullah Saw., lalu ia berjumpa dengan Sa‘d ibn Mu‘âdz. Ia berkata kepadanya, ‘Wahai Abû ‘Amru, mau kemana?’ Ia menjawab, ‘Alangkah indahnya, sungguh aku telah mencium bau surga yang tidak aku dapatkan selain pada Uhud. Lalu, ia memerangi kaum kafir hingga terbunuh. Ditemukan pada jasadnya lebih dari 80 luka dan tusukan panah. Saudaranya al-Rubai‘ ibnt al-Nadhr berkata, ‘Aku tidak dapat mengenalinya kecuali dari ujung jarinya.’ Lalu turunlah ayat ((Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada [pula] yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah [janjinya])) 

Seperti halnya hadis Jâbir ibn ‘Abd Allâh sebelumnya, hadis di atas merupakan contoh sahabat Nabi yang bersedia mengorbankan nyawanya untuk membela hak dan harga diri mereka. Perlu ditegaskan di sini bahwa  Anas ibn al-Nadhr merasa sangat rugi sekali karena tidak ikut bersama Nabi dalam perang Badar, perang pertama kalinya diikuti oleh Rasulullah. Dalam redaksi riwayat al-Bukhâriy diceritakan bahwa Sa‘d ibn Mu‘âdz sangat kagum dengan tindakan Anas, dan mengaku tidak sanggup melakukan seperti yang telah dilakukan oleh Anas dalam perang Uhud. 

4. Hadis Anas ibn Mâlik:

Dari Anas ibn Mâlik, bahwasanya Rasulullah Saw. terpisah bersama tujuh orang sahabat Anshâr dan dua orang Quraisy. Ketika ia dikepung oleh orang kafir, ia berkata, “Barang siapa yang menghadang mereka, ia akan mendapatkan surga dan mendampingiku di surga”. Seorang Anshâr maju berperang dan terbunuh. Mereka terkepung lagi, Rasulullah berkata, “Siapa yang menghadang mereka, ia akan mendapatkan surga dan mendampingiku dalamnya.” Seorang Anshar maju dan mati terbunuh. Demikian selanjutnya sehingga ketujuh orang tersebut gugur. Rasulullah berkata kepada dua orang lagi, “Alangkah menepati janjinya sahabat kita.”

5. Hadis Mu‘âdz ibn ‘Afrâ’:

Wahai Rasulullah, apa yang menyebabkan Allah tertawa terhadap hamba-Nya? Rasulullah menjawab, “Menyeburkan diri ke dalam barisan musuh tanpa mengenakan pakaian pelindung.” Mendengar jawaban tersebut Mu‘adz menanggalkan pakaian perang yang ia kenakan lalu berperang sampai terbunuh

Selain contoh istisyhâd yang terdapat dalam hadis-hadis di atas, sejarah juga mencatat bahwa dalam perang Yamamah, orang-orang Bani Hanifah bertahan di benteng yang berada di kebun Musailamah. Kebun tersebut terkenal dengan nama kebun kematian atau kebun al-Rahman. Seorang laskar Islam, al-Barrâ’ ibn Mâlik bersedia diletakkan di tempat pelemparan, agar bisa menuju sasaran musuh. Sahabat al-Barrâ’ melemparkannya, lalu al-Barrâ’ menyerang musuh sehingga pintu benteng tersebut terbuka untuk pasukan Islam. Demikian juga dalam peperangan mengahadapi tentara Persia yang terkenal dengan nama perang al-Jisr, dimana kuda-kuda pasukan Islam lari ketakutan melihat pasukan Persia yang menggunakan gajah. Salah seorang tentara Islam membuat gajah-gajahan dari tanah dan mengkondisikan sehingga kuda tadi jinak dan tidak takut melihat gajah. Di antara pasukan Islam ada yang berkata, biarkan aku terbunuh, sebagai pembuka jalan bagi tentara Islam masuk ke wilayah musuh.

Dalam prakteknya, tidak setiap orang bisa melakukan istisyhâd, baik karena tidak ada kesempatan, maupun tuntutan konteks yang berbeda. Dalam salah hadis dikatakan seseorang yang mengidamkan mati syahîd (istisyhâd), baginya telah dicatat pahala syahîd, meskipun atau tidak gugur di medan perang. Artinya, jika kondisi tidak bisa melakukan istisyhâd seperti tidak berada di medan perang, atau dalam suasana damai, maka niat tulus untuk istisyhâd dinilai sebagai pahala syahîd. Hadis tersebut adalah hadis Sahl ibn Hanîf ibn Wâhib berikut:

Bahwasanya Nabi Saw. bersabda, “Siapa yang meminta mati syahîd kepada Allah dengan penuh kebenaran, Allah akan memberikan kepadanya pahala syahîd meskipun ia mati di atas tempat tidurnya.”

Hadis di atas menjelaskan bahwa meskipun dalam bentuk niat, seseorang yang menginkan mati syahîd akan dicatat Allah sebagai syuhadâ’ walaupun ia meninggal di atas tempat tidurnya. Secara redaksional, hadis ini dapat dipahami sebagai anjuran mengharapkan mati syahîd. Hal ini disebabkan betapa besarnya kenikmatan yang akan diberikan kepada orang yang mati syahîd. Selain itu, hal utama yang diinginkan hadis di atas sebenarnya bukanlah mati syahîd-nya, akan tetapi niat, wujud, serta aplikasi ketulusan sepenuh hati untuk menegakkan kebenaran dalam setiap kehidupan. Ketulusan ini tidak dapat dinilai oleh manusia. Dalam hadis Anas ibn Mâlik, dengan redaksi yang berbeda, dinyatakan:

Dari Anas ibn Mâlik, Rasulullah Saw. berkata, “Siapa yang menginginkan mati syahîd dengan sebenarnya, akan diberikan kepadanya, walaupun (kenyataannya) ia tidak mati mati syahîd.”

Dalam memahami dua hadis yang secara substansial sama di atas, secara ringkas Imam Nawawi memahaminya dari dua sisi; pertama secara redaksional, dua hadis di atas merupakan anjuran untuk mendapatkan pahala syahîd, dan kedua niat untuk melakukan kebaikan. Niat untuk melakukan kebaikan ini agaknya relevan diterapkan saat ini dimana banyak komponen masyarakat yang menginginkan kedamaian. Pada dasarnya, pemahaman yang ditawarkan oleh Imam Nawawi di atas, banyak mendapat godaan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, kesungguhan mengaplikasikannya dipandang bernilai tinggi di sisi Tuhan dan pahalanya dipandang sebagai pahala jihad.

C. Syuhadâ’ dalam Fikih Islam.

Dalam kajian literatur fikih (The Islamic Jurisprudence), pembahasan mati syahîd diposisikan setelah sub bahasan jenazah. Selain mendapatkan pahala yang besar, seseorang yang mati syahîd, mendapat perlakuan khusus dalam prosesi penyelenggaraan jenazahnya. Jasadnya hanya dibersihkan dari kotoran (jika ada), sedangkan darah (akibat perang) yang melekat pada tubuhnya dibiarkan saja. Selain itu, syahîd mendapat perlakuan khusus di akhirat. 

Tidak dipungkiri, bahwa banyak hadis yang memberikan motivasi untuk istisyhâd. Selain hadis pada awal bahasan ini, hadis Abû Hurairah berikut juga menjelaskan hal yang sama:

Bahwasanya Abû Hurairah berkata, “Saya mendengar Nabi Saw., bersabda, ‘Demi Zat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya segalanya memungkinkan bagi orang beriman yang keberatan kami tinggalkan, maka akan aku bawa mereka semua ke medan jihad. Dan demi Zat yang diriku berada dalam kekuasaannya, aku ingin terbunuh di jalan Allah, kemudian aku dihidupkan kembali, lalu terbunuh dan dihidupkan lagi, kemudian terbunuh dan dihidupkan kembali lalu aku terbunuh.”’

Hadis di atas menyatakan betapa Rasulullah mendambakan mati syahid. Perumpamaan ini merupakan tamtsîl atau contoh bagi para sahabat, bahwa meskipun yang dicontohkan dalam redaksi hadis adalah Nabi, tapi sebenarnya diperuntukkan bagi segenap umat Islam. Jika ditelusuri zaman Nabi Muhammad masih hidup, banyak faktor yang mempengaruhi sehingga muncul perintah dan anjuran untuk perang secara fisik. Di antaranya adalah faktor eksternal seperti intimidasi dan pengusiran yang dilakukan oleh kafir terhadap Nabi serta para sahabat. Adapun faktor internal adalah kapasitas Nabi Muhammad sebagai dwi fungsi; kepala pemerintahan dan sebagai Rasul. Sebagai kepada pemerintahan, pemimpin tunggal yang menyatukan seluruh umat Islam, nabi Muhammad berhak memutuskan perintah berperang. Demikian juga dengan mengutus pasukan atau bala tentara perang ke wilayah musuh. Namun, setelah berakhirnya khilafah Islamiyyah dan dalam konteks damai sekarang ini, umat Islam tidak mempunyai pemimpin tunggal. Sehingga, jihad berperang secara fisik tidak dapat dijadikan satu komando. Akibatnya, muncul kelompok-kelompok kecil dari umat Islam yang menyerukan jihad berperang. Persoalannya adalah ketika seorang pemimpin kelompok tertentu menyerukan jihad perang, apakah sudah menjamin semua yang gugur akan menjadi syuhadâ’? Konteks yang sama bisa terjadi zaman sekarang ini. Misalnya, pada negara tertentu seperti Palestina, dimana hak penduduk masyarakat muslim dirampas dan mereka diintimidasi serta diusir dari kampung halamannya, dalam kondisi ini dibolehkan jihad mengangkat senjata (perang). Lebih dari itu, semangat istisyhâd layak untuk diterapkan.

Dalam hadis Abû Hurairah berikut, dinyatakan: 

Rasulullah Saw. bersabda, “Hari kiamat tidak terjadi hingga kamu membunuh orang Yahudi hingga seorang konservatif (berpaham fanatik) yang di belakangnya ada seorang Yahudi berkata, ‘Ini seorang Yahudi di belakangku, bunuhlah dia.’”

Hadis Abû Hurairah di atas mempunyai syâhid, di antaranya Ibn ‘Umar yang meriwayatkan redaksi berbeda. Menurut redaksi riwayat Ibn ‘Umar misalnya, ditemukan hadis yang sama dengan menggunakan redaksi :

 


(orang-orang Yahudi memerangi kamu, lalu kamu mereka kuasai). 

Hadis ini menceritakan bahwa di akhir zaman nanti akan datang Dajjâl, penyeru kepada kemaksiatan. Menurut riwayat Ibn ‘Umar, Dajjâl dan orang-orang Yahudi memusuhi dan memerangi umat Islam. Lalu kaum muslimin pun berperang, membela diri sehingga Dajjâl dan Yahudi kalah. 

Menurut Ibn Hajr al-‘Asqalâniy, hadis di atas menandakan bahwa di akhir zaman akan datang pembela kebenaran dan kejahatan. Penyeru kepada kebaikan yang dianggap sebagai ‘Isâ, dan penyeru kepada kejahatan yang dianggap sebagai Dajjâl. Ibn Hajr menambahkan, bahwa yang dimaksud dengan perintah memerangi orang Yahudi di atas adalah terjadinya hal tersebut apabila Dajjâl atau kejahatan telah merajalela. Hadis ini dapat dipahami, bahwa setiap datang pembawa kejahatan, selalu ada pencegahnya sehingga antara keburukan dan kebaikan selalu ada hingga hari kiamat. Perintah membunuh orang Yahudi tersebut, tidak bisa dipahami secara tekstual. Ia dipahami sebagai simbol mencegah kejahatan dan kebobrokan. Ungkapan hajar—batu—pada redaksi hadis di atas menandakan bahwa sebelum hari kiamat, benda mati seperti batu, kayu, dapat berbicara dan ikut memberantas kejahatan.

Siapa saja yang dapat disebut sebagai syahîd? Dalam riwayat Jâbir ibn ‘Atîk dinyatakan bahwa ada delapan kategori disebut sebagai syahîd.

Dari Jâbir ibn ‘Atîk, Rasulullah saw. bersabda: "Mati syahîd ada tujuh, selain mati terbunuh dalam perang fîsabilillah, yaitu: (1) mati karena penyakit thâ‘ûn (semacam penyakit kelenjar), (2) mati karena tenggelam ,(3) mati karena penyakit lambung ,(4) mati karena sakit perut, (5) mati karena terbakar, (6) mati karena tertimpa reruntuhan, dan (7) perempuan yang mati karena hamil/melahirkan." 

Hadis di atas, berkenaan dengan respons Rasulullah terhadap ‘Abd Allâh ibn Tsâbit yang dalam kondisi sakit. Rasulullah datang berkunjung dan memanggilnya. Tidak ada balasan dari ‘Abd Allâh. Kemudian Nabi mengatakan :


(kami terkuasai olehmu wahai Abû al-Rabî‘).

Beberapa orang sahabat wanita menangis mendengarkannya. Mereka mengira ‘Abd Allâh ibn Tsâbit akan meninggal dunia. Jâbir ibn ‘Atîk berusaha menenangkan mereka. Nabi berkata, “Biarkan saja mereka menangis. Jika ia telah meninggal, maka tidak boleh lagi ditangisi.” Salah seorang anaknya yang perempuan sangat berharap jika bapaknya (‘Abd Allâh ibn Tsâbit) mati syahîd, sebagaimana yang banyaknya fadilah bagi seseorang yang mati syahîd. Rasulullah bersabda, “ Sesungguhnya Allah telah menetapkan pahalanya sesuai dengan niatnya.” Lalu, nabi bertanya, “Menurut kalian, apa itu mati syahîd?” Para sahabat menjawab, “Gugur fisabilillah”. Lalu, nabi menjelaskan bahwa sesungguhnya syahîd itu bukan hanya mati fisabilillah saja, tetapi ada tujuh macam, seperti pada hadis di atas. 

Anggapan bahwa syahîd itu hanya sebatas terbunuh dalam peperangan di jalan Allah seperti yang dialami sahabat dalam hadis di atas banyak terdapat pada masyarakat muslim. Anggapan ini, juga diakui oleh sarjana Barat sehingga mengatakan agama Islam adalah agama perang. Untuk menepis anggapan ini, Rasulullah merinci lagi, bahwa selain mati fisabilillah, tujuh kategori meninggal di atas dapat dianggap sebagai syahîd. Jika dilihat dari tujuh kategori meninggal di atas (mati karena penyakit thâ‘ûn, mati karena tenggelam, mati karena penyakit lambung, mati karena sakit perut, mati karena terbakar, mati karena tertimpa reruntuhan, dan perempuan yang mati karena hamil/melahirkan.), maka tidak satu pun dikehendaki terjadi dengan sengaja. Masing-masing terjadi secara insidentil, atas kehendak Yang Mahakuasa. 

Ibn Hajr al-‘Asqalâniy menilai, penjabaran syahîd hingga tujuh macam tersebut—atau pada riwayat lain ada lima—di atas merupakan rincian atau tafsiran dari fisabilillah. Artinya, jika gugur fisabilillah (medan perang) dinilai syahîd, maka meninggal karena tujuh hal dimaksud di atas juga dianggap fisabilillah juga, dan bernilai syahîd. Wahbah al-Zuhailiy, ahli fikih kontemporer asal Syria mengutip pendapat al-Suyûthiy yang mengatakan bahwa selain gugur di medan perang fisabilillah, mati syahid itu ada 30 macam. Termasuk di antaranya orang yang meninggal dalam menuntut ilmu, orang meninggal terserang penyakit ganas seperti TBC, radang lambung, gigitan ular beracum, orang yang berniat sungguh-sungguh agar mati syahîd, dan lain-lain. 

Untuk itu, syahîd dibagi kepada tiga; (1) syahîd dunia-akhirat, (2) syahîd dunia, dan (3) syahîd akhirat. Syahîd dunia-akhirat adalah syahîd yang gugur di medan perang fisabilillah. Adapun syahîd dunia seperti gugur mati syahîd dalam perang fisabilillah karena unsur riya’. Sedangkan syahîd akhirat adalah seperti tujuh kategori dalam hadis Jâbir ibn ‘Atîk di atas.  

Hal yang menarik untuk ditilik lebih jauh dari hadis Jâbir ibn ‘Atîk di atas bahwa betapa Nabi menghormati kaum wanita, yang dalam beberapa riwayat dilarang berperang. Pahala mati syahîd layak diberikan kepada ibu hamil/melahirkan dan meninggal, karena proses melahirkan adalah proses mengadu nyawa dan sama dengan perang membela agama Allah. Selain itu, kaum wanita berperan besar dalam pengembangbiakan keturunan. Dengan bersedianya seorang wanita untuk hamil, berarti ia telah mengemban amanat dan mewujudkan proses penyempurnaan sifat kefeminimannya. 

Dalam riwayat Aisyah dikisahkan, bahwa Aisyah protes kepada Rasulullah, tentang tidak diikutsertakannya wanita dalam perang. 

Dari Aisyah Ra., bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, kami melihat jihad sebagai amalan yang paling utama, bolehkah kami berjihad? Rasulullah Saw. menjawab, bukan, jihad yang utama adalah haji mabrur.

Pertanyaan Aisyah di atas, merupakan representasi dari beberapa orang sahabat wanita yang ingin beroleh pahala jihad (syahîd). Mereka mendengar beberapa anjuran Nabi tentang keutamaan jihad, dan juga mengetahui dari al-Qur’an yang turun. Berdasarkan pemahaman mereka, ternyata jihad yang paling utama adalah perang menegakkan kalimat Allah. Atas dasar ini, Aisyah dan beberapa orang kaum ibu mendatangi Nabi menanyakan tentang kebolehan berjihad (perang) bagi mereka. Dengan redaksi berbeda, menurut versi Shuhaib dalam riwayat al-Nasâ’iy dinyatakan bahwa pertanyaan Aisyah di atas adalah


(kami tidak melihat suatu amalan pun yang lebih utama dari jihad [perang]). 

Ungkapan ini menandakan, betapa tingginya kualitas pahala jihad dalam pandangan Aisyah dan sahabat wanita lainnya.

Rasulullah sangat paham dengan konteks dan lawan bicaranya. Secara filosofis hadis Aisyah dan Jâbir ibn ‘Âtik di atas menyatakan, bahwa untuk mencapai pahala syahîd tidak mesti dengan berperang dan gugur di dalamnya. Dan berperang bukan satu-satu aspek jihad yang mesti dilalui. Masih ada amalan lain yang pahalanya sama dengan jihad. Bagi seorang yang melaksanakan ibadah haji, perjuangan jiwa raga menahan diri dari semua larangan ihrâm adalah perjuangan besar, dan bernilai jihad. Demikian juga dengan penderita penyakit lambung serta sakit perut, ia akan berjuang sekuat tenaga menahan sakit sebagaimana ibu hamil mempertaruhkan nyawanya dalam melahirkan. Untuk itu, jika ia meninggal akan dianggap syahîd. Jika demikian adanya, maka hadis yang menyatakan bahwa jihad tetap ada sampai hari kiamat benar adanya. Dalam kondisi dan situasi bagaimana pun, seseorang selalu dituntut untuk berjihad, menerapkan aspek jihad sesuai dengan tuntutan konteksnya berada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar