Jumat, 29 Oktober 2021

Saat Badai Datang Dalam Bahtera Pernikahan.



Pernikahan merupakan jalan sunnah untuk membangun hubungan persahabatan antar dua orang manusia berbeda jenis yang bernilai ibadah. Pernikahan hendaknya dibentuk dengan tujuan mulia, semata karena ibadah kepada Allah. Dan yang namanya ibadah, maka tata cara membangunnya harus sesuai dengan aturan Allah. Mulai dari cara memilih pasangan, pelaksanaan ijab qobul hingga bagaimana mendesain hubungan suami istri, agar perkawinan penuh keberkahan Allah dan mencapai sakinah mawaddah warahmah. Cinta yang dibangun sejak awal melangkah, sejak masa taaruf hendaknya adalah karena Allah saja. 

Cinta karena Allah mempersyaratkan cinta karena ada pada diri seseorang/pasangan, sifat dan perilaku yang dicintai Allah. Kalaupun sebagai manusia biasa ada dari sifat dan perilakunya yang dibenci Allah, ia tidak membiarkan berlarut-larut dan berulang tapi segera bertobat. Bagaimana mungkin dikatakan cinta karena Allah jika seseorang/pasangan yang kita cintai itu sifat dan perilakunya saja dimurkai Allah, apalagi tindakannya pun berani menentang perintah Allah.

Cinta karena Allah penting dan sangat urgent dalam setiap pernikahan. Sebab ia adalah modal dan senjata saat badai menerpa. Oleh karena itulah, betapa agungnya tuntunan Nabi dalam memilih teman hidup. Beliau berpesan, pilihlah pasangan karena kebaikan agama niscaya akan beruntung. Seseorang yang baik agamanya, ia pasti mencintai Allah. Dan orang yang mencintai Allah tentu akan menaatiNya, karena cinta pembuktiannya adalah ketaatan. Ketaatan pada Allah inilah yang sesungguhnya amat penting sebagai bekal mengarungi bahtera rumah tangga. Akan ada onak dan duri menghampiri setiap pernikahan. Akan ada badai dan gelombang yang menghantam. 

Seperti firman Allah, apakah manusia akan dibiarkan mengatakan beriman tanpa diuji? Jadi, ujian adalah sebuah keniscayaan, pun dalam biduk perkawinan. Hal ini juga telah dengan amat jelas Allah sampaikan dalam surat Al-Baqarah 155-157 sebagai berikut, “Dan sungguh akan Kami beri cobaan kepadaMu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun’. (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNya kami kembali). Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”

Badai dan gelombang dalam rumah tangga adalah suatu keniscayaan. Namun harus disadari dan diyakini bahwa Allah Maha Penyayang, tak mungkin mendholimi hambaNya. Segala sesuatu apapun yang terjadi adalah yang terbaik dari Allah. Begitu Pengasih dan Pemurahnya Allah, Dia membekali manusia kala ujian menerpa dengan firmanNya dalam QS Al Baqarah [2] ayat 153, “Wahai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Sejenak bila membaca dari fenomena masyarakat, akan didapati banyak rumah tangga yang menyimpang dalam mencari solusi saat badai menerpa, dengan tidak berpegangan pada aturan Allah dalam menghadapinya. Ketaatan pada hukum Allah tidak menjadi landasan dalam menyelesaikan setiap problem kehidupan. Justru sebaliknya, mengikuti hawa nafsu dan terus memperturutkan langkah-langkah yang menyimpang dari aturanNya.

Sebagai contoh, banyak pasangan yang tidak sabar saat ujian kemiskinan, kekurangan harta menimpa. Ada yang karena ingin segera melepaskan diri dari kondisi ini, akhirnya salah satu pihak atau bahkan keduanya melakukan hal yang terlarang seperti korupsi, mencuri, terlibat riba dan lain-lain. Padahal sebenarnya harta yang diperoleh dengan cara haram, amat berpotensi mendatangkan penyakit, baik penyakit hati maupun fisik. Sebab pada dasarnya sistem kerja jaringan tubuh manusia, telah Allah ciptakan sedemikian rupa untuk taat pada Allah, sehingga jika sampai pemilik tubuh menikmati harta haram maka tubuh secara alami melawan membentuk mekanisme pertahanan. 

Akhirnya, terjadilah perang antara haq dan batil dalam tubuh sehingga muncul sinyal tubuh yang bernama kekhawatiran, kegelisahan, penyakit fisik/raga dan jiwa. Jadilah solusi mengentaskan kemiskinan keluarga yang ditempuh justru menambah masalah baru, hidup dalam ketidakberkahan Allah. Logis jika perkara-perkara yang menyalahi hukum Allah tidak mendapat ridlo Allah.

Contoh lain juga bisa dilihat, dengan meningkatnya fenomena trend selingkuh. Selingkuh sebagai salah satu pelarian ketika ada masalah rumah tangga. Apalagi dari hasil penelitian menunjukkan beberapa tahun lalu 2 dari 3 pria Jakarta selingkuh. Belum lagi di era serba digital sekarang ini, dimana pergaulan antar lawan jenis tidak hanya di dunia nyata tapi telah menyentuh level dunia maya. 

Dari sudut pandang Islam, jelas selingkuh adalah jalan yang terlarang. Sama saja dengan mendekati perbuatan zina. Selingkuh apapun alasannya, tetap tak dibenarkan sekalipun untuk membalas pasangan yang telah “selingkuh” terlebih dahulu. Keindahan selingkuh hanyalah fatamorgana, dan pasti adalah jalan yang Allah murkai, yang justru amat berpeluang menimbulkan masalah baru.

Selain itu juga sering didapati fakta, bagaimana ketika memiliki masalah dalam rumah tangga masing-masing pihak atau salah satu pihak tidak melandaskan diri pada aturan Islam dalam bersikap. Mencari kambing hitam, saling menyalahkan, balas dendam, saling menyakiti, menghinakan dan dengan rela membawa permasalahan pernikahan menjadi konsumsi publik. Rahasia yang seharusnya tak boleh diketahui oleh orang lain, terbuka seluas-luasnya. Seperti banyak kasus artis di negeri ini, seolah lupa suami adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian suami. Keduanya harus saling menjaga dan menutupi. Membuka aib pasangan, sama saja dengan menunjukkan aib diri sendiri.

Demikian juga dengan kenyataaan, betapa banyaknya suami istri yang menyikapi permasalahan dengan sikap “kekanak-kanakan.” Sikap buruk yang menghinggapi manusia bukan berdasarkan umur. Boleh jadi seseorang berumur tua dalam bilangan tapi tidak dalam kedewasaan. Atau sebaliknya, usia boleh muda tapi sikap telah dewasa. Mengutip perkataan Aa Gym, ciri “kekanak-kanakan” antara lain kebiasaan ingin apa-apa dipamerkan, pendengki dan cenderung serakah, segalanya hanya untuk dirinya sendiri. Persis seperti anak-anak, yang sering egois dan mau menang sendiri.

Sikap “kekanak-kanakan” seharusnya hanya boleh dipunyai oleh anak-anak yang memang belum sempurna akalnya. Bukan oleh anak manusia yang telah baligh. Sebab ketika telah baligh, seseorang telah dikenai beban hukum secara sempurna. Sudah terbebani untuk menjalalankan seluruh kewajiban sebagai khalifah di muka bumi tanpa kecuali. Ketika melakukan maksiat berdosa, saat menjalankan amal shalih berpahala. Dan ketika sifat ini melekat pada orang dewasa/baligh justru hanya akan semakin memperburuk keadaaan. Alih-alih masalah terpecahkan, yang ada malah menambah daftar permasalahan.

Harus disadari oleh setiap individu yang telah menikah, bahwa sesungguhnya perkawinan adalah untuk semata ibadah. Sehingga segala aktifitas di dalamnya, terutama pemenuhan kewajiban suami istri, tanpa terkecuali harus menyandarkan pada aturan Sang Khaliq. Islam adalah agama sempurna yang merupakan sistem hidup yang komprehensif mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Meliputi segala aspek antara lain ekonomi, politik, sosial dan budaya. Mengatur hubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia. Semua masalah ada solusinya dalam Islam. Oleh karena itu, jika bersandarkan pada aturan dalam Al-Qur’an dan hadits, maka tidak ada permasalahan rumah tangga yang tidak ada penyelesaiannya.

Betapa indahnya pernikahan, sungguh penuh berkah Allah, dan terbentuk sakinah mawaddah warahmah ketika sepasang suami istri tetap memegang teguh tali temali agama Allah. Menjadikan Islam hanya sebagai satu-satunya solusi saat badai menerpa biduk rumah tangga. Tetap istiqomah bersandar pada aturan Islam saat ujian menyapa. Tidak hanya akan membawa kebahagiaan di dunia, tetapi juga menuai pahala berlimpah karena telah menaati-Nya. Tidak hanya terselesaikan masalah dengan penuh kemenangan, tapi juga akan semakin menguatkan cinta diantara kedua pasangan.

Kisah mendebarkan ketika Aisyah, istri kesayangan Nabi, difitnah selingkuh. Aisyah adalah istri Nabi yang memiliki satu keistimewaan di hati Nabi yang tidak dimiliki oleh istri-istri Nabi yang lain. Beliau adalah istri yang paling disayangi Nabi. Bahkan istri Nabi yang lain pun sempat merasakan cemburu terhadapnya. Namun, Nabi tetap bisa berbuat adil terhadap ke semua istrinya.

Aisyah tinggal di sebuah kamar di samping Masjid Nabawi. Di sanalah wahyu banyak turun. Kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Dalam kesehariannya, Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang bisa menyenangkan hati Rasul. Beliau benar-benar menjaga agar jangan sampai Rasul menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. 

Di hari gilirannya, ia senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan berhias untuk Rasulullah. Begitu sayangnya Rasul terhadap Aisyah, bahkan menjelang wafat, beliau meminta ijin kepada istri-istrinya untuk beristirahat di kamar Aisyah selama sakitnya. Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah wafat di pangkuanku.”

Dalam suatu hadist, Rasulullah pernah ditanya oleh Amru bin ‘Aash, “Siapakah manusia yang paling engkau cintai?”

Beliau menjawab, “Aisyah!”

Amru bertanya lagi, “Dan dari kalangan laki-laki?”

Beliau menjawab, “Ayahnya (Abu Bakar)!”

Sebagai istri yang begitu dicintai Nabi, Aisyah pernah suatu ketika difitnah selingkuh dari Nabi. Suatu ketika, Rasul hendak pergi berperang. Seperti biasanya, Rasulullah mengundi istrinya yang akan menyertainya berperang. Pada kali itu, undian jatuh pada Aisyah. Secara kebetulan, saat itu bertepatan dengan turunnya perintah memakai hijab. Singkat cerita, perang telah usai dengan kemenangan di tangan kaum muslimin.

Rasulullah dan kaum muslimin kembali ke Madinah. Pada waktu mereka beristirahat di tengah perjalanan, Aisyah keluar dari sekedup untanya untuk menunaikan hajatnya dan kembali. Tiba-tiba beliau teringat bahwa kalung di lehernya jatuh dan hilang, sehingga dia keluar dan sekedup dan mencari-cari kalungnya yang hilang. Ketika itu pula, pasukan Islam melanjutkan perjalanan mereka. Mereka benar-benar tidak menyadari bahwa sekedup yang mereka angkat ternyata kosong. Ketika Aisyah berniat kembali ke pasukannya, betapa kagetnya dia karena tidak ada seorang pun yang dia temukan. Namun beliau tidak meninggalkan tempat itu, berharap para penuntun unta akan menyadari ketiadaannya dan kembali menjemputnya.

Apa yang diharapkan Aisyah tidak terjadi. Karena kelelahan, beliau pun tertidur. Ketika Aisyah tertidur, lewatlah Shafwan bin Mu’thil yang terheran-heran melihatnya. Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia menuntun di depannya. Karena kejadian inilah, fitnah itu timbul, yang disulut oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.

Beberapa saat kemudian, Aisyah memasuki rumah dan didapatinya sang suami sedang duduk sendirian. Aisyah sendiri belum mengetahui kabar yang tersiar tentang dirinya. Aisyah pun merasa gundah karena sikap Rasul yang berubah terhadapnya. Ketika hendak bicara, Rasul malah berpaling darinya.

Kesedihan hati Aisyah semakin bertambah hingga ia jatuh sakit. Beliau meminta ijin pada Rasul untuk pulang ke rumah orang tuanya, dan Rasul memberikan ijin. Ketika beliau berada di rumah kedua orang tuanya, berita itu akhirnya sampai juga ke telinga Aisyah. Sejak saat itu, Aisyah selalu mengurung diri di dalam rumah.

Suatu hari, Rasul berkunjung ke rumah mertuanya dan disambut baik oleh keluarga Abu Bakar kecuali Aisyah yang sedang dirundung sedih. Rasulullah kemudian duduk di hadapan Aisyah seraya berkata, “Wahai Aisyah, berita itu rupanya telah sampai pula kepadamu. Jika engkau benar-benar suci, niscaya Allah akan menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau telah berbuat dosa, bertobatlah dengan penuh penyesalan, niscaya Allah akan mengampuni dosamu.”

Disertai isak tangis yang semakin menjadi, Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau telah mendengar kabar ini, dan ternyata engkau mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya hanya Allah lah yang mengetahui kesucianku, dan tentunya engkau tak akan mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku mengakui perbuatan itu, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tetap suci, maka kau akan mempercayai perkataanku. Aku hanya dapat mengatakan apa yang dikatakan Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu lebih baik’. Dan Allah pula yang akan menolong atas apa yang engkau gambarkan.”

Selang beberapa saat, Rasul merasakan tanda diturunkannya wahyu. Setelah beliau sadar, beliau lantas berkata, “Hai Aisyah, Allah telah menyucikanmu dengan firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur:11)

Wanita ditakdirkan menjadi seorang istri bagi suaminya dan menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya. Dalam menjalankan tugas yang mulia ini, tidak semudah seperti apa yang dibayangkan. Bila diibaratkan, rumah tangga itu bagaikan perahu yang berlayar di laut.

Rumah tangga diawali dengan ketenangan. Dan ketika sudah beberapa lama, Allah berikan ujian kepadanya. Seperti perahu yang berada di tengah lautan yang terkena hantaman ombak. Ujian itu akan menimpa siapa saja. Baik itu kepada istri, anak dan suami maupun tetangga.

Segala persoalan dan kesulitan dalam rumah tangga, sekecil apapun, sering terlihat bagaikan badai laut, karena terasa mengusik kenikmatan yang sedang dicoba untuk diraih secara optimal. ‘Badai’ itu sudah pasti ada, besar atau kecil. Kita tidak dituntut untuk melawan goncangan badai, namun usahakan secerdik mungkin menghindarinya atau menghindari bahayanya bila memang ‘sang badai’ sudah sempat menerpa.

Badai rumah tangga seringkali tampil dalam wujud percekcokan antara suami istri. Kalau dibilang sebagai bumbu, mungkin lebih layak disebut bumbu yang terlalu pedas. Karena percekcokan antara dua insan yang seharusnya bersatu, yang seharusnya tenggelam dalam suasana tentram, penuh dengan kasih saying, jelas berpengaruh amat besar terhadap kebahagiaan masing-masing pihak, bahkan berpengaruh pada penyelesaian tugas masing-masing dalam rumah tangga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar