Minggu, 04 September 2022

Jangan Menunda-nunda Pembayaran Hutang! (Riba an nasi’ah)



Riba nasi’ah adalah riba yang terjadi karena adanya pembayaran yang tertunda pada akad tukar menukar dua barang yang tergolong komoditi ribawi (emas, perak, kurma, gandum dan garam), baik satu jenis atau berlainan jenis dengan menunda penyerahan salah satu barang yang dipertukarkan atau kedua-duanya.

Dari enam komoditi ribawi dapat kita kelompokkan menjadi dua. Kelompok pertama adalah emas dan perak. Sedangkan kelompok kedua adalah empat komoditi lainnya (kurma, gandum, sya’ir dan garam).

Jika sesama jenis komoditi di atas dibarter -misalnya adalah emas dan emas- maka di sini harus terpenuhi dua syarat, yaitu kontan dan timbangannya harus sama. Jika syarat ini tidak terpenuhi dan kelebihan timbangan atau takaran ketika barter, maka ini masuk riba fadhl.

Jika komoditi di atas berbeda jenis dibarter, namun masih dalam satu kelompok -misalnya adalah emas dan perak atau kurma dan gandum- maka di sini hanya harus terpenuhi satu syarat, yaitu kontan, sedangkan timbangan atau takaran boleh berbeda. Jadi, jika beda jenis itu dibarter, maka boleh ada kelebihan timbangan atau takaran –misalnya boleh menukar emas 2 gram dengan perak 5 gram. Maka pada point kedua ini berlaku riba nasi’ah jika ada penundaan ketika barter dan tidak terjadi riba fadhl.

Jika komoditi tadi berbeda jenis dan juga kelompok dibarter –misalnya emas dan kurma, maka di sini tidak ada syarat, boleh tidak kontan dan boleh berbeda timbangan atau takaran.

Contoh riba nasi’ah sudah kami berikan sebagian di atas. Contoh lainnya adalah barter emas. Misalnya emas 24 karat ingin dibarter dengan emas 21 karat dengan timbangan yang sama. Akan tetapi emas 24 karat baru diserahkan satu minggu lagi setelah transaksi dilaksanakan. Ini yang dimaksud riba nasi’ah karena sebab adanya penundaan.

Misalnya lagi adalah dalam masalah tukar menukar uang –karena uang dapat dianalogikan dengan emas dan perak. Sufyan ingin menukarkan uang kertas Rp 100.000,- dengan pecahan Rp 1000,- kepada Ahmad. Akan tetapi karena Ahmad pada saat itu hanya memiliki 60 lembar Rp 1000,- , maka 40 lembarnya lagi dia serahkan satu jam kemudian setelah terjadinya akad. Penundaan ini termasuk dalam riba nasi’ah.

Riba nasi’ah juga disebut riba jahiliyah. Riba ini adalah riba yang paling berbahaya dan paling diharamkan.

Semua riba utang (riba duyun) yang telah kita bahas sebelumnya tergolong riba nasi’ah, karena semuanya muncul akibat tempo. Dalam konteks utang, riba nasi’ah berupa tambahan sebagai kompensasi atas tambahan tempo yang diberikan, contohnya utang dengan tempo satu tahun tidak berhasil dilunasi sehingga dikenakan tambahan utang sebesar 15%, misalnya. Maka, tambahan 15% ini merupakan riba nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana keberadaan tambahan telah disepakati sejak awal, semisal ada ketentuan untuk mengembalikan utang sebesar 115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski sebagian ulama ada yang memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau dari segi bahwa ia merupakan pertukaran barang sejenis dengan penambahan).

Sementara itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak berupa tambahan, melainkan semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang ribawi yang sebenarnya disyaratkan harus tunai itu, baik keduanya sejenis maupun berbeda jenis. Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak secara tempo, atau membeli perak dengan perak secara tempo. Praktik tersebut tidak boleh dilakukan karena emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama barang ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam riba nasi’ah. Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang ribawi ini dengan istilah khusus, yakni riba yad.

Berbeda dengan riba dalam utang (dain) yang bisa terjadi dalam segala macam barang, riba dalam jual-beli tidak terjadi kecuali dalam transaksi enam barang tertentu yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah saw bersabda, “Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, bur (gandum) ditukar dengan bur, sya’ir (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)

Dalam riwayat lain dikatakan, “Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).

Ada beberapa hal inti yang bisa kita ambil dari hadits di atas:

  1. Pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kedua hadits di atas secara khusus hanya menyebutkan enam komoditi saja, yaitu: emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam. Maka ketentuan/larangan dalam hadits tersebut hanya berlaku pada keenam komoditi ini saja tanpa bisa diqiyaskan/dianalogkan kepada komoditi yang lain. Selanjutnya, keenam komoditi ini kita sebut sebagai barang-barang ribawi.
  2. Kedua, setiap pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi, seperti emas ditukar dengan emas atau garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu: pertama takaran atau timbangan keduanya harus sama; dan kedua keduanya harus diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.

Berdasarkan ketentuan di atas, kita tidak boleh menukar kalung emas seberat 10 gram dengan gelang emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang tersebut dua kali lipat lebih tinggi dari nilai kalungnya. Kita juga tidak boleh menukar 10 kg kurma kualitas jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus, karena pertukaran kurma dengan kurma harus setakar atau setimbang. Jika tidak setimbang atau setakaran, maka terjadi riba, yang disebut riba fadhl.

Disamping harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus dilaksanakan dengan tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan barang secara tunai, meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya haram, dan praktik ini tergolong riba nasi’ah atau ada sebagian ulama yang secara khusus menamai penundaan penyerahan barang ribawi ini dengan sebutan riba yad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar