Kamis, 17 Maret 2022

Aku Setia Menunggu



Kisah ini adalah tentang perjalanan rumah tanggaku. Namaku Mia. Aku seorang ibu rumah tangga, sekarang usiaku sudah 37 tahun. Aku menyesal menikah dengan suamiku tapi nasi sudah menjadi bubur, hidup terus berjalan dan aku menerima semuanya dengan ikhlas.

Ketika aku berusia 15 tahun, ayah dan ibuku menjodohkanku dengan mas Yanto, seorang pemuda desa, anak kenalan ayahku. Karena aku merasa masih kecil, aku tidak setuju dengan perjodohan itu. Aku ingat betapa ayah dan ibuku kecewa dengan keputusanku. Yang aku tahu waktu itu, mas Yanto sempat menyatakan tetap akan menungguku sampai aku siap menikah dengannya. Tetapi aku tetap tidak mau menikah dengannya.

Aku merasa memiliki tanggung jawab untuk menentukan jalan hidupku sendiri, termasuk dalam hal memilih siapa laki-laki yang akan menjadi suamiku kelak. Saat duduk di bangku SMA, aku jatuh cinta dengan seorang pria, kakak kelasku yang bernama Arif dan kelak menjadi suamiku. 

Saat itu aku tahu orangtuaku sangat berat mengijinkan aku menikah dengan orang lain, sebab mas Yanto, sang calon yang mereka pilih untuk menikahiku masih setia menungguku. Tapi mereka tak bisa menolak saat aku memaksa menikah dengan pria pilihanku. Dan akhirnya di usia 22 tahun aku resmi menikah.

Kehidupan pernikahanku biasa saja. Tahun berganti tahun dan tidak terasa kami sudah menikah selama 9 tahun. Kami juga sudah dikaruniai 2 orang anak yang lucu-lucu. Sayangnya di tahun kesembilan itu, sikap mas Arif mulai berubah. Sejak itulah cerita sedih kehidupanku mulai bergulir.

Aku betul-betul merasakan yang namanya sakit hati. Pekerjaan mas Arif yang mengharuskan dia sering pergi ke luar kota menyebabkan dia mudah tergoda dengan wanita lain. Semuanya bermula dari desas-desus tetangga yang sering melihat mas Arif mengendarai motornya sambil memboncengkan wanita lain. Setelah kuselidiki ternyata benar, mas Arif rupanya berselingkuh dengan rekan kerjanya.

Aku masih berusaha sabar dan menganggapnya sebagai cobaan yang biasa terjadi di setiap rumah tangga. Tapi mas Arif melakukannya lagi dan lagi. Setidaknya sudah ada dua wanita yang datang ke rumah mencari suamiku. Mereka mengaku sebagai pacar mas Arif.

Wanita-wanita itu masih muda dan modis. Kadang aku merasa grogi berhadapan dengan mereka. Tapi aku berusaha bertahan karena aku mempunyai dua orang anak yang masih kecil. Aku tidak mau perkembangan mereka terganggu karena ulah ayahnya yang tidak bermoral.

Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, terkadang aku disuruh berutang oleh mas Arif ke siapa saja yang kami kenal. Tentu saja dia tidak bisa membiayai rumah tangga kami jika seluruh gajinya habis dia gunakan untuk bersenang-senang dengan selingkuhannya.

Selama lima tahun, rumah tanggaku dihiasi dengan perselingkuhan suamiku. Terkadang dia membawa pulang foto-foto dirinya di hotel bersama teman-teman wanitanya. Hatiku hancur tapi jika aku melawan, dia malah menamparku dan menyebutku wanita sampah.

Hari-hari yang kulalui penuh dengan cerita sedih dan airmata. Semua hal-hal gembira yang kurasakan selalu disapu oleh rasa sedih saat berada di rumah. Aku sudah tak tahan dan tidak bisa lagi mempercayai suamiku. Akhirnya aku meminta cerai. Tapi suamiku tidak mau menceraikanku. Aku bingung dia maunya apa. Jika tidak mau bercerai kenapa dia selalu menyakitiku. Yang pasti di dalam hatiku sudah tidak ada lagi cinta untuk suamiku, yang tersisa adalah dendam membara.

Masih aku ingat, pada akhir bulan Juni tahun lalu, aku diundang ke acara khitanan keponakan mas Yanto, pemuda yang pernah dijodohkan denganku dulu. Aku datang ke acara itu dan bertemu dengan seluruh keluarganya. Ayah mas Yanto dan ayahku memang berteman akrab. Aku ditarik dan mengobrol lama dengan ayahnya. Beberapa saat kemudian mas Yanto juga bergabung dan kami berbincang-bincang cukup lama.

Meski aku sudah menikah tapi mas Yanto tetap menungguku. Bahkan aku dipesan oleh orangtua mas Yanto supaya jangan memutus silaturahmi diantara keluarga kami. Akhirnya aku bertukar nomor handphone dengan mas Yanto. Dan malamnya mas Yanto menelponku dan mengungkapkan kerinduan dan cintanya yang tak pernah luntur walau pernah aku tolak dulu.

Esok harinya, aku dan mas Yanto janjian bertemu di sebuah restauran dan tak kuduga mas Yanto membawa seperangkat perhiasan emas lengkap dengan surat pembeliannya. Katanya, perhiasan ini yang dulu dia persiapkan menjadi mahar perkawinan kami. Dengan sangat memohon mas Yanto memintaku untuk menerimanya. Total berat emas itu 60 gram.

Selepas hari itu, kami bertambah akrab. Aku menikmati hari-hari yang bahagia dan indah bersama mas Yanto. Shopping, jalan-jalan, atau sekedar menemaninya nonton film. Aku senang dan dompetku pun selalu penuh. Aku percaya dengan cintanya karena selama tiga bulan kami dekat dia sangat sopan kepadaku.

Sayang beribu sayang, suatu hari mas Yanto mengalami kecelakaan. Dia terluka sangat parah dan harus dirawat dalam keadaan koma selama hampir 2 bulan di rumah sakit, dan di hari Minggu yang kelabu itu semuanya harus berakhir. Mas Yanto dipanggil pulang oleh-Nya. Aku sangat sedih dan menangisi perpisahan itu.

Perhiasan yang diberikan oleh mas Yanto aku jual dan kubelikan sapi dua ekor. Aku titipkan pemeliharaannya ke orang dengan sistem bagi hasil. Sekarang aku masih hidup bersama suamiku tapi tingkah lakunya semakin aneh. Dia seperti orang kesurupan, kadang meraung seperti macan dan kadang juga seperti orang sekarat.

Mungkin itu adalah akibat perbuatannya dulu yang selalu menyakiti perasaan wanita. Yang pasti meski hidup bersamanya, aku sudah tidak bisa lagi mencintai suamiku. Hatiku sudah menjadi milik mas Yanto... dan aku akan tetap menunggunya sampai nanti bertemu di alam sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar